Satu

2 0 0
                                    

Yuri

Hampir satu semester aku bersekolah di SMA Pandita Mulya. Kata orang-orang ini adalah SMA swasta top yang menjamin kamu masuk perguruan tinggi terbaik negeri. Wajarlah beberapa langkah masuk saja ke sekolah megah dengan fasilitas terbaik ini diisi oleh orang-orang yang kalau tampangnya tidak pintar luar biasa, ya pasti anak orang-orang kaya. Kalau kata Katarina dan Mia itu chebol, yang merupakan bahasa Korea sebutan bagi generasi kedua dari para konglomerat. Sebenarnya itu terlalu berlebihan, yang pasti sebagian besar siswa di sini diisi dengan dua kelompok tersebut.

Oh ya, aku lupa berkenalan. Aku Yuri. Kelas 10 D. Banyak yang bilang namaku mirip salah satu anggota Girls Generation. Tapi percayalah ayah dan paman-pamanku bilang itu adalah nama istri terakhir dari mendiang Presiden Soekarno. Terserahlah, aku gak peduli. Nama asliku sebenarnya cukup sulit, Eurytrina Krista Chandra, benarkan! Jadi kuputuskan dengan panggilan yang mudah. Tapi sayanya tidak semuanya memanggilku demikian. Kenapa? Nanti kalian akan tahu, yang pasti aku tidak suka dengan panggilan lain itu.

Seperti tipikal anak sekolah umumnya, aku punya geng. Kalau dulu saat SMP teman sepermainanku lebih banyak anak-anak dari club renang, sekarang kelompok pertemananku terlihat lebih normal. Setidaknya seperti kebanyakan geng anak perempuan. Namanya The Goddess. Aku benci sekali namanya. Tapi sudahlah sepertinya yang lain senang dengan nama itu, terutama Adeeva.

Entah seseorang diantara Mia atau Adeeva yang memiliki ide nama menggelikan seperti itu atau karena ejekan, aku anggap begitu, orang-orang pada kami. Namun yang pasti selentingan yang aku dengar dari Mia mereka bilang bahwa kami berlima cantik-cantik, hoek, dan pandai. Untuk yang terakhir bolehlah karena diantara kami ada Nina siswi teladan.

Mengenai pertemanan kami berlima entahlah aku mungkin cukup menyukainya. Terlebih orang sepertiku cukup cuek untuk memulai suatu pertemanan. Jadi bisa dikatakan aku bersyukur mereka menyertakanku dalam lingkaran mereka.

Hari ini adalah hari terakhir ujian semester. Sebelum liburan kami berencana balas dendam dengan berkaraoke. Karena ada suatu urusan aku akan datang menyusul mereka.

"Yuyu, kamu berhenti dari club?"

Itulah panggilan yang aku benci. Entah dari mana anak piyik ini dapat ide memanggilku seperti itu dari SMP.

"Yes." Jawabku singkat pada Abi, lelaki berwajah cukup tampan namun tinggi badannya terpaut sekitar sepuluh sentimeter di bawahku. Tinggiku 172 cm.

"Kenapa, ko tiba-tiba?"

"Gak tiba-tiba, memang sudah terencana." Balasku malas.

"Ini bukan kaya Yuyu yang aku kenal!" Lanjutnya sambil terus membuntutiku. Aku tidak menanggapi.

"Aku mau pergi, jangan ikut-ikut!"

"Dih, siapa yang ikut-ikut! Aku juga mau ke arah parkiran. Mau pergi sama Kak Ganin."

Ganin. Berhenti bicara tentang namanya, please.

Kami sudah berada di halaman depan sekolah dekat area parkiran. Benar saja, pria yang namanya Ganin itu sudah siap di atas motornya yang gagah itu. Tak kalah dengannya. Soal merek aku tidak ingat, tidak peduli.

"Bye, Abi!" Aku segera berlalu dari sana.

"Yuri..."

Ia memanggilku. Aku berbalik dan melempar senyum basa-basi.

"Mau kemana?" Tanyanya singkat dengan wajahnya yang ramah itu.

"Aku ada janji dengan temanku, jadi buru-buru, Kak."

"Kemana?"

"Nafa." Aku kelepasan menyebutkan nama tempat karaoke hits di daerah ini.

"Oh yang dekat perempatan di depan sana, kan?" Ia menunjuk ke arah kanannya. Aku hanya mengangguk. "Ayo bareng, aku juga mau ke tempat futsal di seberangnya."

"Bang.. eh.. Bang.." Abi cukup tak terima mendengar tawaran Ganin padaku.

"Tapi Abi bukanya mau bareng kak Ganin?" Abi ikut mengangguk setuju dengan ucapanku.

"Ayo naik, Abi bisa bareng Bian."

Menolaknya bukan pilihan yang bijak. Aku tidak mau terlalu kelihatan canggung dengannya. Lagipula menolaknya terus-menerus tampak tolol dan keterlaluan. Kami langsung melesat meninggalkan Abi.

Dah, Abi banyak-banyaklah menghabiskan waktu dengan kak Bian biar kau ketularan tingginya.

***

Katarin

Aku terus menjaga senyumku diantara asap rokok yang terus menyembur tiada henti diwajahku. Entah kenapa aku merasa ini salah. Tapi apa yang aku bisa perbuat selain berpura-pura baik-baik saja dan tetap tersenyum.

Aku harap Yuri cepat datang. Kalau dia tahu seperti ini, entahlah akan apa, yang pasti sepertinya itu akan lebih baik dari pada terus-menerus di tempat ini.

Aku memandang Adeeva yang kepalanya tersandar pada bahu lelaki berseragam maroon itu. Ada garis hitam legam mencuat dari kerahnya. Aku perhatikan lama.

Astaga aku takut!

***

Konfigurasi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang