Three

645 64 19
                                    

Anshan, China.

Suara gemericik hujan dan petir memekakan telinga Minghao yang sedang berteduh di sebuah halte bus tidak berpenghuni. Sambil sesekali melirik jam casualnya yang menunjukkan angka 12 malam lebih, ia mendesah kecewa setiap kali mobil yang datang melewatinya begitu saja.

Orangtuanya mengatakan bahwa Minghao akan dijemput oleh suruhan mereka untuk menuju ke Beijing. Namun sudah sejam lebih ia menunggu, jemputannya belum datang juga.

Kakinya hendak melangkah untuk duduk di jejeran bangku halte, namun niatnya terurung ketika mendengar klakson nyaring sebuah sedan hitam yang berhenti didepannya. Tanpa berfikir panjang, Minghao segera memasuki mobil itu dan melihat supir yang memakai jas hitam -sinkron dengan warna kacamata yang dipakainya- membungkuk sedikit kepadanya dan segera melajukan mobilnya.

Minghao tertidur di perjalanan karena sudah terlalu lelah menunggu di halte, perjalanan pun dirasanya cukup jauh ditempuh.

Minghao merindukan kedua orangtuanya yang tidak pernah ditemuinya setelah 5 tahun berpisah. Kedua orang tua Minghao pindah ke Beijing dengan alasan bekerja, tentu saja Minghao percaya walaupun tidak pernah sekalipun ia melihat dimana atau apa pekerjaan kedua orangtuanya.



=====


Beijing, China.

Setelah sekian lama tertidur, Minghao membuka matanya dan melihat seluruh pandangannya gelap, hanya ada remang-remang cahaya dari api yang dinyalakan di sebuah tong yang letaknya cukup jauh darinya. Minghao mencoba menggerakan tangannya namun tidak bisa, kedua tangannya terikat cukup kuat di belakang kursi yang didudukinya, kakinya pun diikat sejajar dengan kaki bangku. Minghao berteriak namun mulutnya disumpel dengan ikatan kain. Apa segitu pulasnya Minghao sampai tidak menyadari saat ia sedang diikat saat itu?

Minghao mendengar samar namanya disebut dari arah samping. Ia menengok dan melihat supir yang menyetir tadi sedang berdiri diam dengan wajah yang tidak menyenangkan. Jantung Minghao berdegup kencang saat pria itu menghampirinya dan menyejajarkan posisinya dengan Minghao. Sekarang mereka saling berhadapan dan pria di depan Minghao melepaskan kacamata hitamnya

"Apakah kau tahu bahwa orangtuamu sudah mencampakkanmu?"

Mata imut milik Minghao membelalak dan kepalanya menggeleng keras. Ia ingin sekali berteriak bahwa orangtuanya tidak seperti yang baru saja dikatakannya. Melihat Minghao yang meronta kuat, pria berjas hitam itu menarik kain yang menyumpal mulut Minghao ke bawah agar pemuda itu bisa bicara.

"Tidak! Papa mama tidak mungkin mencampakkanku! Kau lah supir yang kurang ajar berani menculikku! Kau akan dihukum mati setelah papa mama tau kejadian... " 

Mulut Minghao kembali disumpal sebelum ia menyelesaikan kalimatnya. Pria di depan Minghao kembali memakai kacamatanya dan berdiri sambil berjalan ke arah belakang Minghao.

Telinga Minghao mendengar jelas bahwa pria itu menyuruh orang-orang yang berada di belakang Minghao untuk membunuhnya dan segera mengambil darah, rambut dan beberapa potongan kulitnya untuk dikirimkan kepada si pria.

Tubuh Minghao bergetar keras. Di depannya ada pria-pria berbadan besar sedang menatapnya dengan tatapan hina. Minghao tidak bisa menghitung jumlahnya, beberapa orang hanya duduk dan beberapa sedang berdiskusi sambil melirik ke arahnya. Sesekali Minghao melihat cengiran menyeramkan dari mulut mereka. Minghao meronta-ronta hingga mengeluarkan bulir air mata. Ia benar-benar takut, sekaligus tidak membayangkan jika kedua orangtuanya benar-benar melakukan hal ini kepadanya.

"Hey manis, biarkan kami menggunakanmu dulu sebelum membunuhmu. Sayang sekali bukan kalau tubuh cantikmu ini belum pernah dipakai sebelum mati, hahahaha"

Slayer [Woozi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang