BLIND PAIN

12 1 0
                                    

Suara derapan langkah kaki menggema di lorong. Suara tawa bercampur dengan berbagai obrolan yang berasal dari seluruh penjuru kelas. Sekelompok perempuan membica-rakan tim futsal yang berisi laki-laki tampan dan populer. Gerombolan laki-laki sibuk melompat-lompat dan saling mendorong, menciptakan suasana berisik dari suara tawa mereka yang berat. Suasana yang begitu ku rindukan, setelah sekian lama tidak menginjakkan kakiku di tempat itu. Meski begitu, semua itu hanyalah gambaran kabur di mataku, seperti pemutaran ulang film lama yang berwarna hitam putih dengan gerakan lambat.

Gedung tua yang terlihat gelap gulita dari jauh, memperlihatkan kesunyian dan kesepian. Seolah menunjukkan betapa matinya bangunan tersebut, tersembunyi di balik kegelapan tak berujung. Meski begitu, gedung itu merupakan saksi berbagai kejadian, menyimpan kenangan-kenangan masa remaja bagi ratusan orang. Merekam tawa, senyum bahkan tangisan yang terjadi di sana. Kini, aku berdiri menatap gedung itu, papan yang seharusnya bertuliskan nama sekolah terkenal di daerah ini, terlihat usang dan berkarat. Meninggalkan huruf S dan angka 9 yang tergantung miring. Siap meluncur dengan mulus dari atas sana. Lapisan cat berwarna hijau dan abu-abu yang mengelupas, beberapa bagian yang sudah hancur. Ku dengar, gedung ini akan di hancurkan dalam waktu dekat.

Aku masih bisa melihat kilasan kenangan, saat pertama kalinya aku memulai pertemanan. Teman-teman pertama yang mengubah kehidupanku.

"Hei, anak baru!" Seseorang memegang pundakku, membuatku berbalik dan berhadapan dengan laki-laki yang sedang tersenyum lebar ke arahku. Memperlihatkan gigi taringnya yang cukup tajam dan begitu mencolok. "Nama lo Tiara bukan?" Aku mengangguk saat namaku di sebut.

Kemudian, masih dengan senyuman lebar bertengger di wajahnya, laki-laki itu mengulurkan tangannya. "Nama gue Andhika, lo bisa panggil gue Dhika."

Aku hanya menatap tangan yang terulur itu. Berpikir apakah aku perlu membalas salamnya tersebut. Di tengah kebimbanganku, aku mendengar beberapa orang memanggil nama laki-laki di depanku ini.

Kemudian aku melihat seseorang memukul kepala laki-laki itu dari belakang. Membuat laki-laki itu mengaduh kesakitan. "Jangan godain anak orang! Urusin mantan aja belum benar, masih mau cari gebetan baru aja!" Seorang perempuan dengan kulit sawo matang dan mata hitam legam. Tingginya tidak beda jauh dariku, rambut hitam panjang yang diikat ke atas dengan gaya pony tail itu menggelantung indah di puncak kepalanya.

Sedangkan aku melihat seorang lagi, merangkul Dhika sambil mentertawakan kesialan yang di dapatkan Dhika. Laki-laki itu menatapku dan tersenyum tipis. "Gue Arya, pemain futsal paling tampan di seluruh penjuru sekolah." Katanya penuh percaya diri.

"Tampan, tapi otaknya kosong." Perempuan tadi menimpali sambil memasang kembali tas ransel yang tadi ia gunakan untuk memukul Dhika. Seulas senyum kecil muncul di wajahnya, "Gue Rara, salam kenal." Lagi-lagi sebuah uluran tangan. Dan aku hanya memperhatikan tangan yang terulur itu tanpa membalas ulurannya.

"Sudah ku duga, kau akan muncul di sini." Suara berat yang familiar, terdengar menggema di lapangan yang cukup luas itu. Aku tersadar dari lamunanku dan membalikkan badan. Mendapati seseorang dengan pakaian layaknya pekerja kantoran dengan celana bahan, kemeja putih dan jas hitam yang di lampirkan begitu saja di bahunya. Dasi laki-laki itu pun sudah di kendurkan, dan lengan kemejanya sudah di gulung berantakan.

Aku tersenyum, meski tidak dapat di katakan seperti itu. Aku hanya menarik sedikit kedua ujung bibirku. "Aku menerima undangan dari seseorang." Kataku singkat.

"Yah, undangan yang seharusnya sampai pada pelaku pembunuhan beruntun belakangan ini." Jawab laki-laki itu dengan senyuman lebar, menunjukkan gigi taring yang sangat mencolok.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 18, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

BLIND PAINWhere stories live. Discover now