"Baru sampai bro? Gimana kabar eyang lo di Sragen" tanya Sam saat melihat Arka membuka pintu kamar.
"He kunyuk, nyapo kowe neng kamarku?" Arka melempar ransel hitamnya tepat ke wajah Sam yang asyik membaca seri terakhir Naruto Shippuden.
"Lo orang Jakarta nggak usah sok pakai bahasa jawa deh. Baru bisa jawa tingkat dasar aja sombong lo," gerutu Sam sambil melempar ransel Arka ke sudut kamar.
Arka berjalan menuju meja untuk mengambil sebotol air mineral dan meneguknya. Jam menunjukkan pukul 15.00 WIB. Bukannya hari ini Sam dan yang lain dadakan mau ke pantai Drini?
"Lo jadi ke Drini?" tanya Arka.
"Jadi lah," jawab Sam tapi masih berbaring di kasur Arka.
"Kenapa belum berangkat? Keburu sore, Sam."
"Kan berangkatnya dadakan. Kalau gue bilang ke elo berangkat jam 3 sore itu namanya nggak dadakan."
"Bisa aja lo kunyuk."
Kemudian Sam bangkit dari kasur dan berjalan ke arah pintu, keluar dari kamar Arka menuju kamarnya sendiri. Diambilnya smartphone dan mencari sebuah kontak.
"Halo, Delia? Mau ikut aku ke Gunung Kidul? Iya, tepatnya ke Pantai Drini. Iya sekarang. Temanmu boleh ikut kok. Aku carikan tebengan buat dia. Sepuluh menit lagi sampai kosmu." Panggilan berakhir. Sam kembali ke kamar Arka yang sedang merapikan isi tas bawaannya tadi.
"Ka, ikutan yuk. Ada temannya Delia yang nebeng nih. Tebengin dia ya."
"Temannya Delia?" tanya Arka yang masih membereskan barang-barangnya
"Iya, dia lagi liburan ke Yogyakarta. Kasihan nggak ada yang nebengin."
Arka kembali teringat gadis yang berada di kereta 4 kursi 22E tadi. Saat Arka kembali ke kursinya untuk mengambil tas karena ia akan turun di stasiun Lempuyangan gadis itu sudah tidak ada di kursi 22E. Padahal Arka ingin menyapanya lagi sekaligus berpamitan, siapa tahu gadis itu turun di stasiun kota lain. Tapi gadis itu sudah hilang. Mungkinkah dia turun di stasiun Lempuyangan? Atau di stasiun sebelumnya? Arka masih bertanya-tanya di dalam pikirannya.
"Bengong lo? Yuk berangkat. Bawa aja barang seperti biasanya." Sam membuyarkan lamunan Arka.
"Apaan nih anak. Sabar kek, dasar kunyuk."
☀☀☀
Akhirnya Arka menemukan jawaban yang sedari tadi berputar mengelilingi otaknya lebih dari tujuh kali. Jawaban itu ia temukan ketika Delia berjalan keluar dari gerbang kosnya dengan seorang gadis bercelana pendek diatas lutut dan bomber warna army serta rambut yang diikat asal-asalan. Arka sekarang paham mengapa Tuhan membuatnya terus-menerus memikirkan gadis yang dikenalkan Delia kepadanya dengan nama Adhistia Swastamita, karena Tuhan mengijinkan Arka untuk bertemu kembali dengan Dhisti.
"Kak Arka tahu Dhistia? Dhis, kamu nggak bilang dari tadi kalau kenal kak Arka?" tanya Delia dengan nada penasaran.
"Aku emang nggak kenal dia Del," bantah Dhisti sambil sesekali menampakkan wajah tidak suka ke Arka, tapi yang ditatap malah senyum sendiri. "Dasar orang gila," batin Dhisti.
"Yuk berangkat, keburu sore nih. Lagian yang lain sudah nungguin di burjo gerbang selatan kampus."
"Dhis, kamu sama kak Arka ya," kata Delia seraya mengambil helm dan naik ke motor Sam.
"Dhisti, hati-hati sama dia. Soalnya kalau nyetir motor dia nggak kira-kira siapa yang dibonceng dia. Ibu hamil 7 bulan dibonceng dia mugkin aja anaknya bisa lahir prematur." Sam tertawa.
"Nggak usah didengar celotehannya. Yuk, naik Dhis," ajak Arka.
Jujur, Dhisti amat ragu jika harus duduk di jok belakang motor Arka. Takut jika ia akan jadi sasaran mulut si Arka yang baginya jahil, dan nggak pernah mikir kalau ngomong. Tapi bagaimana lagi, masak hanya karena ini Dhisti tidak jadi berangkat. Kasihan Delia yang berusaha memberinya kesan istimewa dari Yogyakarta. Setelah berpikir sangat panjang akhirnya Dhisti memakai helm hitam yang tadi diberikan Arka dan naik ke jok belakang. Arka dari tadi hanya senyum saat melihat Dhisti dari spion motornya. "Gadis ini penurut juga kalau keadaan sudah kepepet," batin Arka.

KAMU SEDANG MEMBACA
Menanti Senja
JugendliteraturMenanti adalah kata kerja membosankan. Namun, jika itu kamu, aku mau.