Jam besar di Stasiun Kereta Api Madiun menunjukkan pukul 12 siang tepat. Hari itu terasa terik seolah matahari tepat diatas kepala. Keadaan stasiun kala itu tidak ramai. "Yakin nggak mau ditemenin?"
"Iya, nggak apa-apa. Sudah pulang sana, kasihan kamu ntar hitam gara-gara panas," goda Dhisti.
"Oh, gitu ya. Sudah aku antar habis itu langsung diusir." Tya memasang wajah ngambek dengan bibir manyun seperti ikan mas minta dicium.
"Yah, jangan ngambeklah. Ya deh aku beliin pesenan kamu."
"Janji ya. Awas kalau kamu lupa. Yaudah, aku pamit ya. Hati-hati. Titip salamku buat Delia," pamit Tya.
"Iya, makasih ya," balas Dhisti. Setelah melihat sahabatnya meninggalkan stasiun Dhisti segera melangkah menuju komputer check in untuk mencetak tiket yang dia beli melalui situs resmi KAI. Tak berapa lama Dhisti sudah memegang kertas berwarna oranye yang bertuliskan kereta Logawa jurusan Madiun-Lempuyangan. Perjalanan ini sudah ia rencanakan sejak semester pertama, untuk menepati janjinya pada sahabatnya yang lain, Adelia, yang kini sedang belajar di jurusan Teknik Geofisika di salah satu universitas negeri.
Walau liburan ini sudah Dhisti rencanakan sejak lama, namun di dalam benaknya ia masih memikirkan banyak hal. Tentang banyaknya mata kuliah yang mengharuskan ia remidi sehingga IP nya jeblok, tentang lelaki yang bernama Bara yang masih saja ingin mendapatkannya kembali walau hubungan mereka sudah berakhir 7 bulan yang lalu. Sungguh, dua hal itu membuatnya tidak tenang. Namun apa daya, ia telah berjanji kepada Delia untuk berlibur ke Yogyakarta. "Aku nggak mau tahu, pokoknya kamu harus ke sini! Ayolah Dis," ucap Delia kala itu saat Dhisti mencoba membatalkan rencana mereka untuk bertemu di Yogyakarta. "Baiklah, maafin ya. Janji deh aku kesana. Tapi kasih makan yang enak-enak ya, he he he," ucap Dhisti kala itu.
"Mohon perhatian, kereta Logawa dengan tujuan akhir stasiun Purwokerto akan segera masuk di jalur 1. Bagi penumpang yang akan menaiki kereta Logawa dimohon untuk segera bersiap di jalur 1. Terimakasih." Terdengar pemberitahuan dari pusat informasi stasiun. Dhisti bersiap dengan tas slempang dan tas ranselnya. Ia hanya memakai celana jeans 15 cm di atas lutut dengan jaket bombernya.
Saat kereta sudah berhenti, Dhisti segera menaiki kereta 4 dan mencari kursi 22E. Dhisti mendapat kursi dekat dengan jendela, dan di depannya tampak pasangan muda mudi yang bisa dibilang terlalu menunjukkan hubungan mereka. "Cih, nusuk mata aja dua orang ini," batin Dhisti dalam hati saat si perempuan bersandar manja di bahu pacarnya, seakan di gerbong kereta hanya ada mereka berdua. Dhisti mengalihkan pandangan ke arah jendela, memerhatikan pemandangan luar yang memperlihatkan hamparan sawah dan padang rumput teki. Tiba-tiba ia memikirkan kembali percakapannya dengan dosen pemangku akademiknya. "Dhisti, waktu semester awal kamu sudah menunjukkan awal yang bagus, tapi kenapa semester ini banyak menurun? Banyak sekali nilai BC yang kamu dapat. Bahkan ada nilai D. Tolong mantapkan kembali apa tujuanmu untuk belajar di jurusan keperawatan. Ingat Dhisti obyek kamu adalah manusia, makhluk yang memiliki martabat, bukan benda mati. Jadi tolong agar kamu bisa memerhatikan itu. Bagaimana Dhisti? Kamu paham?"
"Iya pak, saya akan berusaha lebih lagi di semester selanjutnya."
"Baiklah, tolong pikirkan kembali apa alasan utamamu untuk belajar di jurusan keperawatan," ucap Pak Has, dosen pemangku akademik Dhisti. Diresapinya setiap kata yang diucapkan oleh beliau. Dhisti mendengus. "Siapa juga yang mau masuk jurusan penuh kesulitan itu. Waku kuliah rumit, waktu kerja gaji Cuma dikit. Coba jika waktu itu aku menolak tawaran ayah ibu untuk masuk jurusan ini," keluh Dhisti dalam hati.
"Ini kursi 22D, ya?" Tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki yang membuat Dhisti mau melepas headphone-nya dan menoleh ke arah pemilik suara itu.
"Iya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Menanti Senja
Ficção AdolescenteMenanti adalah kata kerja membosankan. Namun, jika itu kamu, aku mau.