"Baru saja terjadi kecelakaan beruntun yang terjadi di jalan utama menuju Gyeyang Asiad Archery Field. Jalanan yang berbelok dan menurun, membuat sebuah truk muatan pasir kehilangan kendali hingga menabrak beberapa kendaraan di depannya sebelum akhirnya terjun ke jurang yang di bawahnya merupakan lautan. Kendaraan yang ditabraknya antara lain sebuah bis kota dan mobil seorang atlet yang akan melakukan perlombaan, Kim Sejeong yang merupakan atlet unggulan Korea. Mendapat berita ini, perlombaan tahunan Archery Korea sempat ditunda beberapa jam sebelum akhirnya tetap dilanjutkan.
Sampai saat ini proses evakuasi korban masih berlangsung. Seperti yang kita lihat di belakang saya, sulitnya medan evakuasi membuat proses pencarian korban memakan waktu yang cukup lama. Hingga kini baru satu korban yang ditemukan, yaitu Shin Bora yang merupakan manajer dari atlet Kim Sejeong dan kondisinya sudah meninggal dunia. Supir truk hanya mengalami luka-luka karena berhasil melompat dari kendaraannya sebelum masuk ke jurang dan kini sudah dibawa ke kepolisian untuk dimintai keterangan.
Diperkirakan ada sekitar lima korban lagi yang belum ditemukan, yaitu atlet Kim Sejeong, supir bis beserta tiga penumpang lainnya yang masih dalam proses evakuasi."
"Permisi! Permisi! Kasih jalan!" teriakan seorang petugas 911 menghentikan laporan dari sang reporter, disusul oleh sebuah tandu yang membawa seorang korban yang berlumur darah. "Cepat bawa dia ke rumah sakit!" titahnya setelah memasukkan tubuh itu ke dalam ambulan.
"Seperti yang bisa kita lihat sekarang, atlet Kim Sejeong sudah berhasil dievakuasi dan segera dibawa ke rumah sakit terdekat. Apakah dia masih hidup, Pak?" sang reporter bertanya pada petugas yang tadi berteriak.
"Biar Tuhan yang menentukan. Maaf, saya sedang sibuk," jawab petugas itu singkat sebelum kembali ke pekerjaannya.
"Untuk kabar selanjutnya akan segera kami beritakan kepada anda setelah kami mendapat konfirmasi dari rumah sakit perihal keadaan atlet Kim Sejeong. Sekian laporan kami."
***
Matanya perlahan mengerjap, membiasakan dengan sorot lampu di atas kepalanya. Samar-samar dia mendengar suara kebahagiaan dari seseorang yang amat dikenalnya. Suara itu yang selalu memberinya kekuatan di masa-masa sulit dalam hidupnya. Suara sang ibu. Tak lama kemudian wanita itu berdiri di samping tubuhnya dan menggenggam tangan berselang infus itu. Dia tersenyum dan menyiuminya sambil mengucap syukur pada sang pencipta.
Lalu datang seorang dokter dengan bebarapa suster yang langsung melakukan pemeriksaan pada gadis yang sudah lama sekali berbaring lemah di bangsal putih ini. Sungguh gadis yang beruntung karena berhasil kembali membuka mata setelah kecelakaan besar yang telah dialaminya.
Kim Sejeong. Itulah nama yang tertulis di papan penanda yang tergantung di kasur yang dia tiduri. Gadis yang memiliki sejuta mimpi, dan juga memberikan sejuta harapan untuk orang-orang di sekitarnya. Gadis yang selalu tersenyum manis hingga siapapun yang melihat turut menarik sudut bibir. Seorang atlet panahan yang dicintai oleh seluruh negeri. Kim Sejeong.
***
"Lo tau gimana kagetnya gue pas denger kabar lo siuman? Gue langsung lari ninggalin tempat latihan, padahal pelatih lagi ngehukum gue buat gak boleh keluar dari Platnas selama seminggu," ucap Nayoung yang nampak takjub melihat sahabatnya sudah kembali lagi.
Sejeong tersenyum mendengar cerita Nayoung. "Hiya. Lo gak pernah berubah. Selalu ajah bikin ulah sampai pelatih kasih lo hukuman terus."
"Keren bukan?" Nayoung melipat kedua tangan di dada dan tersenyum lebar, membuat Sejeong memutar bola matanya. "Tapi lo orang yang beruntung banget. Dari semua korban kecelakaan hari itu, cuma lo yang berhasil napas sampai detik ini."
Sejeong terdiam. Pikirannya kembali memutar memori kejadian tragis yang telah merenggut manajernya, juga membunuh impiannya. Dia menatap tangan kirinya yang diberi gips. Rasa nyeri sedaritadi menjalar di seluruh tubuh bagian kirinya. Tangan itu sudah tidak lagi bisa berfungsi seperti sedia kala. Karirnya hancur seketika karena kejadian sekejap yang rasanya ingin Sejeong buang dari memorinya.