1

21.9K 354 92
                                    

"Kamu mau jalan denganku, Rul?" Aku menghela napas sejenak sebelum bermaksud mengiyakan. Pesona lelaki di depanku ini benar-benar tidak bisa ditolak.

Matanya memiliki cahaya, meski dengan manik hitam seperti kebanyakan. Rambutnya disisir rapi ke arah kanan. Tatapannya selalu lembut dan menenangkan. Senyumnya selalu terlihat tulus dan teduh. Dia memiliki bibir merah yang masih ranum. Ya Tuhan, dia sangat menggoda.

"Kenapa mau jalan denganku?" Alih-alih mengiyakan seperti maksud awalku, aku malah melemparinya pertanyaan.

"Aku pikir, aku menyukaimu." Gee. Benarkah yang ku dengar? Apa? Dia menyukaiku? Bagaimana bisa?

"Kamu sedang berbohong, ya?" Aku bertanya. Ragu.

"Untuk apa aku membohongimu, manis?" Dia mengusap pipiku lembut. Kemudian membelai rambutku.

Bahkan tingginya sempurna. Tuhan, makhluk apa yang sedang berdiri di depanku kini?

"Bagaimana? Mau pergi jalan denganku? Aku akan mengajakmu ke tempat-tempat yang bisa membuatmu bahagia. Malam ini sangat tepat. Dan kamu orang yang tepat bagiku." Seperti lagu dengan gubahan nada yang sangat indah, kata-kata itu memainkan nada yang menentramkan di hatiku. Aku tak pernah merasa sebahagia ini. Sungguh.

Kemudian dia mengulurkan tangannya dan aku memenuhi uluran itu. Entah kenapa, genggamannya terasa begitu pas. Ada hangat yang menjalar di sana. Merasuk ke dalam, memenuhi jiwaku.

Dia memapahku untuk menaiki motor ninja miliknya. Dia bahkan mengangkat tubuhku dan menaikkannya ke motor itu. Aku malu, tapi perasaan bahagia mengusikku. Dia kemudian menaiki motor, dan punggungnya sudah kukuh tegap di depanku.

"Duduk yang manis ya. Kau bisa memelukku." Dia menengok ke belakang, sebelum kemudian mengenakan helm full face-nya. Tubuhku terasa begitu dekat kepadanya. Aroma wewangian tubuhnya sangat maskulin. Dia benar-benar lelaki idaman yang dianugerahkan Tuhan untuk mengisi sebagian kehidupan di bumi.

Selama di jalan, dia menuntuku untuk memasukkan tanganku ke saku jaketnya. Sekali lagi, aku merasa malu, tapi kali ini dengan debaran yang keras, dan tetap... menyenangkan.

"Rul..." Ujarnya di tengah desing kendaraan bermotor malam ini. Jalanan memang cukup ramai.

"Hmm..?" Aku mencoba menyahut.

"Kamu tahu kenapa aku menyukaimu?"

"Karena aku baik?"

"Haha. Kamu polos banget, sih."

"Abisan itu biasanya alasan orang mengungkapkan perasaannya. Aku suka kamu. Kamu orangnya baik. Tapi habis putus, dia akan bilang, kamu terlalu baik buat aku. Lah, kan aku jadi sebal. Berpisah malah dengan alasan yang 'lebih' dari saat meminta bersama."

"Haha..." Dia tertawa. Aku bisa mendengar suara tawanya yang renyah.

"Tapi alasanku bukan itu, Rul..." Dia mulai mengatur dirinya kembali. Menghentikannya dari tawa yang sedari tadi menguasainya.

"Terus, kenapa?"

"Karena kamu, dengan caramu yang sederhana telah berhasil menarikku dari kegelapan yang selama ini menyelimutiku. Kamu tahu? Di dunia ini terlalu banyak orang munafik yang berkata bahwa fisik tidaklah penting. Hati lebih utama. Tapi, apa? Mereka akhirnya mencintai karena fisik dan meninggalkan dengan alasan yang sama. Padahal sebelumnya mereka bersama dengan alasan mencintai tulus dari hati, bukan masalah fisik belaka. Tapi kamu berbeda, Rul..."

"Bedanya?"

Kami tiba di sebuah taman di kota ini. Lampu taman ini sangat cantik. Air mancur di tengah taman ini tampak sangat menyejukkan. Langit malam juga sedang bagus. Benar kata dia, tempat ini bisa membuatku bahagia seketika.

"Bedanya..." Dia memasukkan jemarinya ke dalam sela jemariku. Membuatku merasa lengkap.

"Apa?" Tanyaku. Kemudian dia memapahku untuk duduk di taman itu, sesudah sebelumnya ia bersihkan dulu dengan tangannya. Caranya yang sederhana untuk menyanjungku, selalu bisa membuatku bahagia.

"Sini, duduk." Setelah duduk dia merangkulku kemudian menarik kepalaku untuk tidur di bahunya. Rasa nyaman ini sungguh menentramkan. Ya Tuhan, kenapa Engkau begitu baik padaku?

Dia mengusap-usap rambutku, lalu berkata, "Kamu lihat air mancur di sana?"

"Iya," ujarku parau. Aku seperti kehilangan suara. Aku menelan ludah. Gugup menyergapku seketika.

"Dan kamu lihat bulan dan bintang yang menghiasi langit di sana?" Ia menunjuk ke arah bulan-bintang. Aku mengikuti arah telunjuknya itu.

Tanpa menunggu jawabanku, "Rul.. saat bertemu denganku, kamu seperti air mancur itu. Menyejukkan hatiku tanpa perlu rias dan pesona lain, selain hatimu. Kamu memantulkan bulan dan bintang yang sebenarnya, tapi kamu tetap memancarkan hatimu yang sesungguhnya."

"Maksudnya?" Aku bahkan tidak mengerti. Meski kalimatnya terasa begitu indah terdengar.

"Kamu mengatakan kelebihan-kelebihanku dengan jujur, dan membangkitkannya bahkan saat aku tak mempercayai diriku sendiri. Kamu mendorongku untuk lebih baik. Kamu menarikku dari kegelapan. Kamu mengatakan bahwa kamu menyukai kelebihan-kelebihan yang ada pada diriku, bahkan saat aku tak menunjukkannya. Entah kenapa, kamu selalu tahu. Kamu jujur juga mengatakan kekuranganku dan kamu dengan jujur, mengatakan bahwa kamu menyukaiku dengan niat tulus untuk mendorong semua kelebihanku dan menutupi semua kekuranganku. Tapi, kamu tak kehilangan keindahan dirimu sendiri. Kamu juga tetap menunjukkan kelebihan-kelebihan yang ada padamu tanpa kecuali. Kamu bilang, mari sukses bersama. Karena sendirian, memberatkan. Saat itulah aku tahu, aku harus memilihmu. Selalu memilihmu."

Dia menatapku dalam-dalam. Kemudian ia tarik kepalaku dekat kepadanya. Di sanalah, di bawar sinar bulan-bintang yang sangat terang, ia menghujani bibirku penuh... dengan cinta.

Tuhan, Aku menyukainya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tuhan,
Aku menyukainya.

Selasa, Feb 20. 2018
11.08 pm










A.N:

Hallo. Ini cerita tentang apa ya kira-kira? Bakal ada yang suka ga ya? Lanjut ga nih?

Dear, My BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang