BAGIAN 1

7 2 0
                                    

Hari pertama sebagai siswa kelas 12 setelah libur dua minggu. Pagi-pagi sekali aku sudah bangun dan segera bersiap-siap ke sekolah. Jam baru menunjukkan pukul 6 ketika aku sudah siap dengan seragam hari Senin dan tas ranselku. Keluar dari kamar, aku menemukan ibuku yang sedang menyiapkan sarapan di dapur.

“Sudah mau berangkat, Lik?” tanya ibu sambil meletakkan sepiring besar nasi goreng di meja makan.

Aku duduk di meja makan. “Iya, Bu,” jawabku dan mulai menyendok nasi goreng ke piringku.

“Oh iya, nanti siang ibu baru bisa bayar SPP kamu, nggak papa kan?”

Aku mengangkat kepalaku dan menatap ibu yang kali ini sudah duduk di seberangku. “Nggak papa, kok, Bu. Nanti Lilik ngomong sama Ibu TU biar bukti bayarnya besok aja.”

Hari ini memang hari terakhir membayar SPP bulan ini di sekolahku. Pengeluaran tiap bulan yang membuat ibuku harus bekerja ekstra sejak aku mulai duduk di bangku SMA. Lima ratus ribu per bulan untuk anak yang orangtuanya berkecukupan mungkin tidak akan merasa keberatan, tapi bagiku, yang hanya mempunyai seorang ibu yang bekerja untukku, tentu saja aku merasa keberatan. Jangan tanya soal beasiswa karena nyatanya aku tidak cukup pintar untuk mendapatkan beasiswa.

Aku memang bersekolah di salah satu sekolah negeri favorit di Palembang. Aku pun heran kenapa aku bisa masuk ke sekolah ini. Satu-satunya alasan yang membuatku memilih mengikuti tes penerimaan siswa baru di sekolah itu adalah karena hanya sekolah inilah yang jaraknya paling dekat dengan rumahku. Aku hanya perlu berjalan kaki paling lama 10 menit untuk sampai di sekolah. Beruntungnya, aku lolos tes tertulis dan tes wawancara hingga sekarang aku duduk di bangku kelas 12.

Aku menyelesaikan sarapanku dengan cepat. Setelah berpamitan dengan ibu, aku pun berangkat ke sekolah. Karena jam baru menunjukkan pukul 6.15, aku memutuskan untuk berjalan dengan santai sambil mengamati lingkungan di sekitar rumahku. Walaupun masih sangat pagi untuk berangkat ke sekolah, tapi aku sudah berpapasan dengan banyak temanku yang mengendarai motor. Jam bel masuk sekolahku memang pukul 6.30 jadi wajar saja jika sudah banyak yang datang ke sekolah.

Aku sampai di sekolah dan menyalami guru-guru piket yang stand by di gerbang sekolah. Oh ya, tentu saja mereka berdiri di sana untuk memeriksa kelengkapan atribut sekolah kami. Seperti dasi dan ikat pinggang. Kebanyakan dari kami akan memakai jaket untuk menutupi dirinya yang tidak memakai dasi dan ikat pinggang. Cara itu terkadang cukup ampuh untuk mengelabui guru piket, tapi tentu saja guru-guru sudah hapal dengan cara kami tersebut.

Satu lagi alasan mereka berdiri di gerbang. Ketika jam mulai mendekati jam 6.30, guru-guru piket akan meneriaki kami yang masih santai berjalan untuk berlari karena bel masuk akan segera berbunyi. Di sana juga ada anak-anak dari ekstra PKS yang tugasnya untuk mencatat kami-kami yang terlambat dan berakibat pada pengurangan poin.

Setelah meletakkan tasku di kelas lamaku, aku langsung bergabung dengan teman-temanku yang berkumpul di depan kelas sambil menunggu panggilan ke lapangan. Jangan lupa kalau ini hari Senin dan saatnya untuk mengikuti upacara bendera.

“Hai, Lik. Gimana liburan?” tanya Naura, salah satu teman sekelasku dan bisa dikatakan paling dekat denganku.

“Hai, Nau. Aku nggak ke mana-mana, cuma di rumah bantuin ibu jaga warung,” jawabku sambil tersenyum.

Dan obrolan pun dilanjutkan dengan teman-temanku yang menceritakan pengalaman liburan mereka kali ini hingga obrolan itu harus terhenti karena upacara akan segera dimulai.

===

“The announcements.”

“Pengumuman, pengumuman.”

Aku menghela napas panjang dan melemaskan kakiku. Teman-temanku yang lain mulai berpindah-pindah dari barisan mereka dan tidak mempedulikan salah satu wakil kepala sekolah, Pak Hendri, yang sudah mengambil alih mikrofon.

Pak Hendri mengucap salam yang segera dijawab oleh kami dengan lemas. Dengan penuh senyum, pria itu juga mengucapkan selamat datang bagi para siswa kelas 10 dan menjelaskan tentang pembagian kelas kami yang baru yang akan ditempel di mading setelah upacara ini selesai.

“Eh, Lik, kamu tau nggak Kak Varish?” celetuk Naura tiba-tiba.

Aku mengerutkan kening. “Kak Varish?” Aku mencoba mengingat siapa pemilik nama tersebut tapi hasilnya nihil.

Naura berdecak gemas. “Itu loh, Lik, Kak Varish yang ke Amerika!”

Aku seketika mengingat siapa itu Varish. Terakhir kali aku melihatnya ketika pembagian rapor kenaikan kelas tahun kemarin. Dari yang kudengar, Varish terpilih untuk mengikuti pertukaran pelajar ke Amerika selama setahun.

“Dia udah pulang deh kayaknya,” Naura berkata lagi. “Eh eh, itu orangnya.” Dia menunjuk seorang lelaki yang berdiri di barisan paling belakang tidak jauh dari tempat kami berdiri sekarang.

Aku ikut menatap lelaki itu yang berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana. Jujur saja aku sudah lupa dengan wajah Kak Varish. Selain karena tidak tertarik sama sekali dengan lelaki itu, kami juga tidak mempunyai kegiatan yang mengharuskan aku dan Kak Varish untuk bertatap muka. Jadi aku hanya menatap lelaki itu sekilas dan kembali fokus dengan Pak Hendri yang masih berbicara di depan.

“Kira-kira dia masuk kelas mana ya nanti?” gumam Naura yang masih dapat kudengar.

Ah ya, seharusnya dia sudah lulus dan kuliah sekarang, tapi karena pertukaran pelajar itu, dia harus mengulang kelas 12 yang dia lewatkan. Sangat disayangkan memang. Teman-temannya yang lain sudah lulus dan masuk perguruan tinggi, tapi dia masih duduk di bangku SMA. Mungkin kalau itu aku, aku akan lebih memilih tidak ikut pertukaran pelajar tersebut daripada mengulang. Itu aku, dan tentu saja Kak Varish bukan aku. Dia adalah murid kesayangan para guru dan selalu menjadi juara umum, sedangkan aku masuk sepuluh besar saja sudah bersyukur sekali.

By the way, Lik, Kak Varish tambah ganteng ya. Mudah-mudahan aku sekelas sama dia,” ujar Naura lagi yang hanya kutanggapi dengan dengusan.

===

HERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang