[Aku Cinta]

92 24 65
                                        

17 tahun kemudian...

Hari itu langit yang menyungkup kota sungguh bersih. Tidak tersaput awan barang sedikitpun. Benar-benar Biru yang mendamaikan. Matahari sudah tidak berada di atas kepala lagi karena bayang-bayang kota sekarang mengarah pada jam 3.

Namun kepadatan kota masih belum menunjukkan tanda-tanda penghujungnya. Entahlah. Apa kota yang menyandang julukan Ibukota bisa hening dari keramaian pun hanya untuk sehari?

Lihatlah, jejeran warung di seberang jalan salah satu sekolah menengah atas kota tersebut masih sesak dengan manusia berseragam putih abu. Padahal khusus hari itu, sekolah sudah membunyikan bel pulang sejak jam 10 pagi. Heran sebenarnya saat mendengar celotehan anak muda yang mengibaratkan sekolah sebagai penjara. Jika seperti ini kasusnya, apa masih dianggap penjara? Penjara favorit maksudnya?

Berbeda dengan warung yang sesak itu atau lapangan sekolah yang masih menyisakan remaja-remaja aktif, perpustakan adalah tempat semata yang selalu sepi. Sangat sepi justru. Terhitung hanya dua orang yang masih duduk tenang dalam ruangan penuh harum buku tersebut dan hanya gadis berambut panjang terurai itu yang sekiranya sudah 5 jam duduk tenang di bangku kayu tua kesukaannya.

Letaknya di pelosok ruangan. Ibarat itu adalah spot pribadinya, Gadis itu menyisipkan anak rambut ke belakang telinga dengan santai. Terlihat begitu damai. Sibuk membaca buku-buku tebal yang jarang disentuh oleh remaja seumurannya. Bahasanya terlalu rumit dan berbelit, alasan mereka.

Lensa berwarna hitam gelap itu bergerak perlahan dari kiri menuju kanan lalu kembali ke kiri dan berlanjut terus. Mimik yang serius dan bibir tipis yang sesekali menggumam kecil. Asik sekali kelihatannya.

"Cinta," Lembut. Begitulah kesan pertama setiap orang yang mendengarnya.

Mata gadis itu membulat menoleh. Mengerjap sekali-dua kali. Cantik sekali.

"Ibu sudah mau pulang, kamu mau pulang sekarang?" Perempuan bertudung biru dengan corak bunga melongok dari balik rak buku yang bersisian dengan tempat duduknya.

Kepala itu kini menatap benda putih mungil yang melingkari pergelangan tangan kecilnya. Lalu kembali mengguratkan senyum ramah. "Ah, Cinta lupa waktu lagi."

"Mari kita lihat, kali ini buka apa lagi yang kamu baca? The Tragedy of Hamlet, Prince Of-" Ibu Suri memicingkan bola matanya. Kesulitan membaca judul buku dalam genggaman Gadis tersebut.

"Denmark?"

"Lagi-lagi Shakespeare, huh?" Seringai perempuan yang masih tidak mengerti mengapa anak yang 20 tahun lebih muda darinya itu suka sekali membaca buku-buku rumit.

"Ibu mau menjemput Keyla?" Ibu Suri mengangguk, sudah biasa bagi seorang Cinta untuk mengabaikan setiap pertanyaan yang seharusnya tidak butuh jawaban.

Cinta ya. Indah sekali. Sungguh indah. Bahkan mengalahkan nama "Indah" itu sendiri. Definisi dari cantik mungkin bisa mudah dipahami hanya dengan melihat perawakan Gadis itu. Kulit putih bersih. Wajah yang merona. Hidung mungil nan mancung. Ah, Sangat cantik. Perawakannya bagai melukiskan perasaan yang bernama Cinta. Cinta yang penuh akan keindahan dan mukjizat.

Tetapi, perawakan tidak selalunya menggambarkan perangai seseorang dengan benar. Percayalah, senyum ramah menyejukkan yang baru saja Ia tunjukkan itu sebenarnya cukup langka sekali terjadi. Sama langkanya dengan menunggu bulan purnama. Sayang sekali, keindahannya tertutupi dengan tingkah lakunya yang selalu dingin.

Seperti sekarang misalnya. Di saat bus metromini pengap itu sedang riuh dengan gelak tawa penumpang yang terbahak-bahak mendengar lelucon pengamen di depan. Gadis itu justru termenung, menatap kosong pada bayangan maya yang bergerak cepat dari balik jendela. Sudah puas Ibu Suri salah menanggapi sikapnya yang satu itu. Kiranya dia sedang ada masalah, ternyata memang termenung adalah separuh lebih dari hidupnya.

Kembali untuk PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang