1. Teman Pulang

1.4K 23 7
                                    

       SUARA sepatu-sepatu berbunyi nyaring di koridor sekolah. Pukul 14:30. Memang sudah waktu pulang. Jadi, wajar saja jika koridor ini lebih ramai daripada jam-jam biasanya. Siswa-siswa sudah memenuhi koridor ini tepat saat bel pulang berbunyi.

Thufaila Kencana salah satunya. Hari ini cukup melelah-kan bagi gadis yang kerap disapa Ila itu. Ah, Ila wants her bedroom. Langkah yang sudah diambilnya dari kelas nampak tidak normal. Ila berjalan sempoyongan sepanjang koridor ini. Sebagai siswa yang aktif dalam beberapa organisasi, ini memang konsekuensi yang harus ditanggung Ila. Ila yang memutuskan, dan ia tahu bahwa tidak seharusnya ia mengeluh.

Langkah tidak normal itu perlahan-lahan menjadi normal saat dirinya melihat Adrian Pradipto yang memainkan handphone-nya sedang duduk di kursi panjang dengan beberapa siswa juga duduk di sana.

Ila tahu perjalanan pulangnya kali ini akan canggung. Cowok itu, Rian menyadari keberadaan Ila, ia kemudian memasukkan barang yang dipegangnya tadi ke dalam saku seragamnya, lalu bangkit dari kursinya dan mengambil langkah maju. Ila mengikuti, as always.

"Galang ada basket." Beritahu Rian saat mereka sudah di tempat parkir.

Ila tersenyum kecil, hal yang dikatakan oleh Rian bukan suatu hal yang mengejutkan. Ila tahu hal itu. Ia tahu bahwa kakaknya, Galang mempunyai urusan. Dan urusan Galang itulah yang membuat Ila harus naik di atas motor Rian seperti yang dilakukannya saat ini.

Kak Rian, kakak kelas Ila yang merupakan teman kakak Ila. Kak Rian, teman pulang Ila jikalau kakaknya itu mempunyai urusan.

Ila sungguh tidak masalah dengan urusan-urusan kakaknya itu. Hanya saja, Galang, kan, sudah diberi tugas oleh Mama bahwa ia harus pulang dan pergi sekolah bersama Ila. Bukan dengan seenak jidat menyuruh temannya untuk melakukan itu. Apalagi cowok yang Ila tidak kenal dengan baik.

Ila kini sudah duduk dengan manis tepat di belakang Rian yang saat ini sedang mengendarai motornya dengan kecepatan normal.

Sunyi. Sepi.

Tidak ada pembicaraan di antara mereka. Rian enggan membuka pembicaraan, Ila pun begitu. Rian sibuk mengendarai motornya, dan Ila sibuk memperhatikan jalanan yang mereka lalui. Sebenarnya, sih, Ila tidak tahan dengan yang sekarang sedang terjadi. Untuk orang yang dikenal sangat aktif seperti Ila, suasana seperti inilah yang ia sangat benci. Oleh sebab itu, beberapa kali Ila memarahi bahkan mengadukan kakaknya tersebut kepada Mama. Tapi, Mama malah bilang tidak apa-apa. Dan Galang akhirnya hanya mengejek Ila.

Ila punya banyak teman. Bukan hal yang sulit bagi Ila untuk mencari teman, apalagi cuma sekedar membuka percakapan. Hanya saja, teman Galang yang satu ini bukan orang seperti Ila. Ila pernah kok mencoba mengajak cowok itu ngobrol untuk sekedar memecah kecanggungan di antara mereka. Tapi yang terjadi malah Ila kehabisan kata sendiri.

Beberapa waktu yang lalu.....

Begitu Ila naik di motor Rian, Ila langsung menarik dan menghembuskan nafas panjang. Ia sudah bertekad semenjak Ila melihat Rian di koridor tadi. Bertekad bahwa ia setidaknya harus berteman dengan Rian. Agar jika ia pulang bareng Rian, ia tidak akan terlihat seperti orang bodoh lagi.

Suara batuk yang dipaksa oleh Ila akhirnya memecah kesunyian. Ketika batuknya selesai, takut-takut ia melirik Rian dari kaca spion motor cowok itu.

"Kak Rian," tegur Ila pelan. Tapi Rian tidak merespon. Entah cowok itu mendengar atau tidak. Ila berdecak, ia menarik-narik pelan sweater Rian. "Adrian!" Coba panggil Ila lagi dengan suara yang lebih tinggi dari sebelumnya. Terbukti, Rian menoleh sedikit.

CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang