Chapter 01 : Peringatan

27 3 0
                                    


Cuaca di Jakarta cerah. Itu yang diumumkan oleh seorang pramugari tiga puluh menit sebelum pesawat dengan keberangkatan dari Tokyo menuju ibukota Indonesia mendarat.

Bisa kurasakan suhu ruangan menjadi lebih panas dan gerah. Walau mungkin semua itu hanyalah hasil dari sugesti otakku sendiri.

Aku tidak perlu membuka mata dan melihat ke kaca jendela hanya untuk mendapati awan-awan tebal dan birunya samudra langit yang membentang di luar sana seperti yang dilakukan adik perempuanku

Bukan berarti berarti bahwa aku tidak menyukai kota dimana aku berasal ini. Hanya saja aku merasa lelah setiap kali harus memulai kembali segalanya dari awal. Melelahkan.

Terakhir kali keluarga kami tinggal di Indonesia, tepatnya di Jakarta, adalah saat usiaku tujuh tahun, sebelum akhirnya ayahku yang bekerja sebagai manajer keuangan di perusahaan besar dipindahtugaskan ke Jepang.

Jam menunjukkan pukul 02.35 ketika kami akhirnya benar-benar melangkah keluar bandara. Cuacanya hangat, matahari tidak bersinar terlalu terik seperti yang kubayangkan. Namun suhu udaranya tetap saja langsung membuatku gerah dan berkeringat.

Aku membuka jaket. Ayah dan ibuku berjalan beberapa langkah di depan menuju dua taksi biru yang sudah menunggu. Reina setengah berlari menyusul ayah dan ibu sementara aku melangkah santai di belakang sambil menyeret koper.

Ia tersandung kakinya sendiri dan dengan cepat aku menangkap tangannya, tepat sebelum wajah bodohnya itu mendarat di lantai dengan keras. Oh, ya. Jangan sampai itu terjadi. Perutku bisa kejang seharian karena menertawakan ketololannya.

“Hati hati, bodoh,” ucapku.

“Maaf, bego,” balasnya tak mau kalah.

Namun sebuah senyuman hangat bersinar di wajahnya saat ia tertawa lebar sambil mengibas-ngibaskan pakaiannya yang sama sekali tidak kotor.

“Terlalu bersemangat. Lo tau kan, udah dari lama gue pengen pulang! Ini namanya... keantusiasnisme,” lanjutnya lagi, membuatku hanya bisa geleng-geleng kepala.

"Dasar norak..." dumelku.

Sedetik kemudian, gadis itu langsung kembali berlari menggandeng tangan Ayah kami.

Selagi menunggu ayah dan supir taksi memasukkan koper-koper kami ke dalam bagasi, mataku beralih pada layar televisi yang dipasang di salah satu tembok besar yang sedang menampilkan berita hari ini. Lagi-lagi tentang sebuah virus yang belum ditemukan obatnya.

Jumlah korban meninggal terus bertambah. Gejalanya masih sama seperti yang dituliskan di surat-surat kabar. Orang-orang yang terinfeksi akan mengalami kejang-kejang, lebam biru yang muncul di sekujur tubuh,  bintik-bintik merah, sesak napas, pembuluh darah pecah bahkan kehilangan kesadaran.

Sebuah video amatir ditampilkan dalam berita yang memperlihatkan belasan orang terkapar di jalanan akibat virus yang menelan banyak korban itu. Mereka menyebutnya corona, yang diambil dari kata crown yang berarti mahkota.

Hal ini disebabkan karena bentuk sel virus tersebut berbentuk seperti mahkota yang mengelilingi matahari. Semua penduduk China diwajibkan untuk mengenakan masker.

Tidak hanya di China, bahkan di bandara saat ini pun, aku bisa melihat banyak orang yang menggunakan masker menutupi separuh wajah mereka demi mengantisipasi tertular oleh turis asing yang melewati bagian pemindaian.

Beruntung, kami berhasil melewati pemindaian dengan aman tadi. Pandangan orang-orang yang tertuju pada kami yang datang dari Jepang, membuatku merasa jengah. Seolah-olah kami sedang membawa bom atom yang siap diledakkan saat kami menginjakkan kaki. Oh, ya! Mereka memang harus lari sekarang. Aku mungkin saja akan benar-benar mengebom bandara ini jika terus-terusan ditatap penuh curiga seperti itu. Menyebalkan.

Escape From The DeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang