Chapter 02: Serangan

21 1 0
                                    

"Gue Reino Mahendra."

"Salam kenal."

Hanya dua kalimat, lalu kemudian menutup mulutku rapat-rapat tanpa melihat ke arah siapapun ketika wali kelas menyuruhku untuk duduk.

Hari pertama di sekolah tidak jauh membosankan. Tidak ada yang istimewa. Tapi aku ingat aku melihat Sarah, si cewek tetangga di ruangan tata usaha ketika menyerahkan beberapa berkas sebelum memasuki kelas. Tak kusangka kami bersekolah di tempat yang sama.

Ia terlihat sedang mendengarkan arahan dari salah satu guru sebelum kemudian pergi meninggalkan ruangan tanpa menoleh sedikitpun. Rambutnya yang dikuncir ekor kuda bergerak seperti pegas ketika ia melangkah.

Namun satu yang kutangkap, gadis itu benar-benar terlihat dingin. Tatapan matanya penuh dengan kebosanan terhadap dunia. Ia menghiraukan segala yang ada di sekitarnya. Dan aku berani bertaruh, dia pasti tak punya teman.

"Berhenti mandangin tuh cewe. Dia tipikal yang mampu ngancurin aset masa depan Lo dengan tangan kosong kalo Lo berani cari gara-gara sama dia. Percaya sama gue," seseorang berbisik dan membuatku kaget.

Orang itu kemudian menepuk pelan bahuku seakan memberikan semangat lalu melangkah pergi begitu saja sambil membawa setumpuk buku catatan.

Beberapa saat kemudian aku menyadari bahwa laki-laki itu berada di kelas yang sama denganku saat ini.

Bu Rita, wali kelas yang mengajar di jam pertama membuatku harus berdiri kikuk di depan kelas untuk memperkenalkan diri sebelum akhirnya ia menyuruhku duduk di satu-satunya bangku kosong yang tersisa di ujung ruangan.

Dan begitu aku menjatuhkan bokongku di kursi, langsung saja seorang murid laki-laki berambut sedikit panjang dan acak-acakan yang sebelumnya memberiku 'saran' tadi langsung memutar tubuh untuk menatapku.

"Gue Aldi. Kita satu kelas ternyata," ucapnya sambil menjulurkan telapak tangan.

"Reino," jawabku singkat menjabat tangannya.

Aneh. Tanganku terasa kikuk. Jabat tangan bukan hal yang lumrah yang biasa kulakukan saat harus berkenalan dengan orang lain.

Aldi menyunggingkan senyum, memamerkan barisan gigi putihnya yang rapi. Sapaannya membuatku canggung. Biasanya orang-orang akan lebih memilih untuk mengabaikanku di kelas daripada mengajakku bicara hanya untuk sekedar berbasa-basi.

Entah tipikal murid yang nakal atau terlalu berani untuk menyela pelajaran guru di depan kelas, Aldi menggeser tubuhnya mendekat ke arahku. Ia menepuk bahu salah seorang cowok di depannya lalu mengatakan sesuatu yang tak bisa kudengar.

Aku tidak tertarik untuk menyimak, namun mau tidak mau, bisikan obrolan mereka terdengar di telingaku. Topiknya tentang pertandingan basket, sampai kemudian Aldi mendekatkan kepalanya.

"Gimana? Lo juga mau ikut?" bisik Aldi menyenggol lenganku.

Alisku terangkat bingung tak mengerti kenapa dia terus-terusan saja mengajakku bicara. "Apaan?"

"Kelas kita bakal tanding basket dengan kelas XII IPA 5 nanti sore. Lo bisa main basket?" tanyanya penasaran.

Aku tidak memerlukan waktu lama untuk menjawab pertanyaan yang satu ini.

"Nggak seburuk yang lo bayangkan."

"Bagus," ucapnya sumringah. "Jadi lo mesti ikut main sore ini. Hitung-hitung sebagai acara perkenalan dengan anak-anak lain," suaranya semangat.

Sinar matanya tampak bersungguh-sungguh. Jika aku mendiamkan pertanyaannya, aku penasaran, apakah itu akan membuat dia tersinggung atau tidak.

"Jadi, gimana? Lo ikut?" tanyanya lagi setengah berbisik.

Escape From The DeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang