"Woi, cepetan! Gue telat nih! Lelet banget, sih!" Seruan tak terduga terdengar dari luar kamar Gabriella, hal itu tidak membuatnya bergeming dan tetap menatap kosong dirinya didepan cermin. Setelah seruan itu, terdengar kembali suara gedoran dari pintu kamarnya membuat pintunya yang sengaja tidak ditutup rapat terbuka. Gaby hanya menatapnya penuh kebencian.
"Gue denger, gue engga budek," balas Gaby dingin. "Sejak kapan lu nungguin gue kalo mau berangkat sekolah? Biasanya juga langsung pergi tanpa mikirin gue."
Kakaknya a.k.a Fia hanya memutar bola matanya, "Males banget sih, gue punya adek kaya lu, nggak tau diri. Buruan turun. Bisanya nyusahin." Setelah itu Fia melenggang pergi dengan angkuh, seperti biasa.
"Dikira gue juga mau punya kakak kaya lu, cih" desisnya. Gaby menghela napas kecil. Berusaha mengatur emosinya agar tidak menghantupkan kepala Fia ke dinding karena sikap kasar kakaknya.
Sejak kecil, Fia dan Gaby tidak pernah akur. Jarak umur mereka hanya beda dua tahun. Sejak kecil Gaby mendapat perhatian penuh dari Bundanya, sedangkan Ayahnya telah pergi meninggalkan keluarga kecil ini entah kemana. Tapi ketika umurnya belum genap 11 tahun, Bundanya melahirkan anak dari lelaki lain, yang akan menjadi Ayah baru baru Gaby dan Fia. Pada saat itu Gaby dan Fia cukup mengenal lelaki itu, tapi mereka terlalu kecil untuk memahami hal yang seperti itu. Lahirnya anak ini, membuat seluruh perhatian Bundanya teralihkan dari Gaby dan Fia.
Fia pintar. Dia memanfaatkan kepintarannya untuk mendapat sanjungan dari Bunda dengan masuk Fakultas yang Bunda inginkan, Teknik Perminyakan. Sehingga dengan itu, Fia selalu jadi Kebanggaan ketika mereka mulai beranjak dewasa. Perhatian Bundanya kini terfokus pada Fia yang berprestasi dan memiliki masa depan yang cerah, dan juga Rilla si bungsu.
Dan akhirnya, kita berada di titik dimana Gaby mulai tidak menyukai hidupnya. Gaby tidak sepintar Fia, sangat sangat sangat tidak sepintar Fia. Hingga saat ini, Gaby belum mengetahui dalam bidang apa keahliannya.
Setelah lamunan panjangnya didepan cermin, Gaby menarik menghela nafas secara kasar kemudian segera keluar dari kamarnya, menuju meja makan di dapur, untuk sarapan sebentar. Ketika telah tiba, Gaby tidak melihat satu makanan pun di meja makan.
"Bunda, sarapanku mana?" Gaby menatap Bunda dari belakang, yang sedang sibuk merapikan sesuatu, entah apa itu Gaby tidak bisa melihatnya.
Bunda segera membalik badannya menghadap Gaby, "Loh? Kamu belum sarapan? Tadi Bunda buat sarapan dikit aja, kirain kamu udah buat sarapan sendiri tadi pagi."
Benar-benar tidak dianggap, lagi pula sejak kapan aku bisa masak? Batin Gaby.
Gaby hanya menatap Bundanya datar, menahan rasa kekecewaan di dalam dada, seperti biasa. Setelah itu dia membuka kulkas dan mengambil sehelai roti tawar, mengoleskannya dengan sedikit mentega dan kemudian menaburkan ceres secukupnya, setelah itu dia melipat roti dua tersebut, kemudian memakannya.
Gaby melangkahkan kakinya menuju ruang keluarga, disana dia melihat ayah tirinya yang tidak pernah dia anggap, sedang duduk bersantai di sofa depan televisi.
Enak, ya, duduk santai di rumah, sedangkan Bunda sibuk kerja batinnya
"Gab, tolong ambilin remote tv, dong." perintah Ayah tirinya, tetapi Gaby tidak mengindahkannya. Memang sejak dulu Gaby tidak begitu cocok dengan Ayah tirinya itu. Sesegera mungkin Gaby mengambil tas sekolah yang berada pas di samping lelaki itu, kemudian pergi tanpa melirik sedikit pun.
Gaby menuju keluar, tas yang baru diambilnya di letakkan di satu bahunya, kemudian mengambil sepatu sekolahnya masih dengan roti yang belum habis dimakannya. Gaby langsung membuka pintu mobil yang telah terparkir sebelumnnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gabriella's Life
Teen FictionHanyalah cerita tentang Gabriella dan hidupnya yang complicated.