BAB I

302 10 2
                                    


“Favyen! Favyen! Favyen!” terdengar teriakan orang-orang yang didominasi oleh suara perempuan.

            Para perempuan itu berjingkra-jingkrak sambil berteriak, beberapa dari mereka mengabadikan momen itu dengan merekam melalui handphone, seakan apa yang mereka rekam, adalah sesuatu yang pantas untuk mereka pamerkan ke orang lain.

            Pria yang bernama Favyen itu tidak menghiraukan mereka, ia hanya asik bernyanyi sambil memetik gitarnya dengan antusias. Sesekali ia melihat ke hadapan para fansnya, tapi cara melihat yang ia lakukan terkesan sangat dingin.

            Para fansnya menganggap bahwa tatapan dingin yang Favyen berikan adalah tatapan penuh karisma----mereka menyukainya.

            Lampu-lampu jalan telah hidup, matahari sudah tenggelam sepenuhnya 30 menit yang lalu. Disaat satu sisi kota dipenuhi dengan suara-suara dan padat akan kendaraan, akan selalu ada sisi kebalikannya yang tenang dan sepi. Dan kesepian itu diikuti dengan rasa dingin karena hujan deras yang terjadi tadi sore.

            Seorang perempuan muda, dengan menggunakan jaket berwarnamint sedang berjalan menelusuri jalanan dengan perlahan. Rambutnya dikuncit kuda, wajahnya tidak ada ekspresi selain ekspresi yang menandakan bahwa ia sedang mempunyai beban yang besar.

            Saat ia menyeberang dengan sebrono, ia beberapa kali mendapatkan klakson kuat dari pengendara, tapi tidak ia hiraukan. Hanya terus berjalan.

            “LU GILA YA!? MENYINGKIR DARI SANA!” seorang pengendara berteriak padanya, tapi ia tidak melihat ataupun berhenti , hanya terus berjalan dengan pelan. Ia sudah tidak peduli lagi.

 🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀

            Favyen dan band-nya yang telah menyelesaikan konser mini mereka sedang bersiap-siap untuk pulang. Favyen meletakan gitarnya pada tas gitar  yang ada dimeja dengan hati-hati. Sangat kelihatan pada bagian jambangnya terdapat keringat yang mengalir cukup banyak, dan ia membiarkan hal itu.

            Salah seorang temannya yag bernama Gala menepuk pundaknya, kemudian mengusap beberapa kali sambil berbicara, “Fans lu menunggu lu di depan,” ia melihat wajah Favyen yang tidak berekspresi, dengan sedikit memblbuang napas dari mulutnya, ia kembali berkata,  “Agatha ingin bertemu dengan lu.” Favyen melihat mata Gala dengan tatapan kesal, nampaknya, nama itu mampu memancing emosinya.

            “Ayolah, Agatha itu adalah perempuan tercantik di sekolah kita.”Gala merespon dengan wajahnya selengekan, ia menggerakan tangannya ketika menjelaskan pada Favyen.

            “Dan gue adalah pria paling tampan di sekolah.” Seringainya untuk tidak mempedulikan tentang Agatha. Gala mengangguk menyetujui bahwa Favyen memang pria tertampan di sekolahnya.

            Karena hal itulah ia menyarankan Favyen untuk berpacaran dengan Agatha. Tapi Favyen selalu menolak dan tidak menyukai Agatha.

            “Lu tidak gay, kan?” Gala menaikan alisnya, memandang Favyen yang sedang memandangnya tanpa ekspresi.

            Saat Favyen selesai dengan urusannya, ia meletakkan tas gitarnya dipundak  kanannya, memegang dengan satu tali dan merapikan bajunya, lalu ia menjawab kata-kata Gala, “Lu tahu kan, gue itu alergi sama perempuan. Mereka itu berisik.”

            Gala tahu itu, “kenapa lu membentuk band jika tidak menyukai para perempuan itu?”

            “Gue hanya menyukai band. Itu saja.” Favyen memasukan tangan kirinya ke saku celananya, “masalah tadi,” diam sebentar, “Jika gue gay, gue tidak ingin memilih lu buat jadi pasangan gue.”

These Fangs For YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang