5. Gundah?

18 2 0
                                    

Ujian kenaikan sudah di depan mata, setelah libur seminggu bagi mereka yang duduk di kelas 11 dan 10 karena anak kelas 12 melaksanakan Ujian Nasional.

Ellena merasa sangat deg-degan, meskipun hari ini libur weekend, tak menutup kemungkinan Ellena stress akibat terlalu takut dengan ujian. Ya, Ellena sering sekali mengalaminya saat beberapa hari sebelum ujian akan berlangsung.

Ellena mondar-mandir di kamarnya, dia sudah belajar, sudah berdoa, namun tetap saja hatinya tidak tenang.

"Astagfirullahalazim" Ellena mengucapkannya berkali-kali.

Ponsel berdering, namun Ellena terlalu malas membukanya. Sampai pada deringan ketiga, Ellena mendengus kesal dan menjawab panggilan itu.

"Assalamualaikum?"

"El, lo masih deg-degan? Parah nggak? Perlu dibawa ke dokter? Lo udah minum yang anget-anget belum? Lo mau apa? Biar gue bawain kesana, nan—"

"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh"

"Astahfirullahalazim, maafkan Arin ya Allah. Aduh El maaf ya, Arin teh lupa, maaf ya."

"Ck, iya nyonya Reno"

"Ih, apa sih. Gimana keadaan jantung lo? Baik-baik aja kan?"

"Alhamdulillah, nggak separah yang dulu"

"Syukurlah. Yaudah El, gue tutup telponnya ya. Assalamualaikum."

"Iya, waalaikumussalam."

Tak lama ponselnya berdering lagi, Ellena menjawabnya tanpa melihat siapa yang menelponnya.

"Apa lagi, rin?"

Hening, tak ada sautan di sana.

"Hallo? Assalamualaikum?"

Ellena melihat tidak ada nama yang tertera di sana. Panggilan itu berakhir.

"Aneh"

Pintu kamar Ellena diketuk oleh ibu, Ellena membukanya,

"Ada apa, bu?"

"Itu di bawah ada kotak, katanya sih buat kamu"

"Dari siapa, bu?" Ellena mengernyit bingung.

"Ibu nggak tau, nggak ada nama pengirimnya. Coba kamu liat dulu sana"

Ellena turun ke bawah, melihat ada kotak yang hampir sama dengan yang waktu itu dan juga berbeda warna, kali ini violet.

"Pasti dari si Putih-Putih itu, deh" gumam Ellena masih dengan melihati kotak itu.

"Apa isinya, El?"

"Palingan bunga, bu"

"Bunga?"

"Iya"

"Kamu beli bunga?"

"Nggak, bu"

"Terus?"

"Dari penggemar aku, bu"

"Kamu? Punya penggemar? Bercanda, deh."

"Ibu sama aja kayak Arin, nggak percaya kalau aku punya penggemar"

"Ya, kamu sih ada-ada aja. Mana buktinya kalau kamu punya penggemar? Udah ah, ibu sibuk" Ibu pergi entah kemana, Ellena hanya memendam kekesalannya di dalam hati sambil beristighfar.

"Huh, astagfirullahalazim. Sabar, ya Allah." Ellena membawa kotak yang tadi ke dalam kamar.

Sesampainya di kamar.
"Ini yang ngasih telat banget, itu bunganya udah layu banget. Sampe item-item gitu" Ellena membuka kotak itu dengan biasa saja bahkan cenderung kesal, aneh.

Ellena segera mengganti bunga itu, dan meja yang dihiasi vas bunga itu terlihat sangat indah. Ellena tersenyum lebar, senang akan karyanya dan senang akan hadiah yang diberi penggemarnya itu. Yakin penggemar?

"Bentar, ada suratnya nggak ya?" Ellena melihat ke dalam kotak, ya ada secarik kertas disana.

'Jangan ragu, saya yakin kamu bisa.'

-Putih

Ellena mengernyit membaca pesan ini, kenapa dia mengetahui keraguannya? Masha Allah, perasaan apa ini?

"No, no, no. Ini tidak boleh terjadi. Aku bahkan nggak tau siapa pengirimnya, ck. Kenapa nggak dia sendiri sih yang ngasih." Ellena memejamkan matanya, menghirup napas dalam-dalam, lalu menghelanya.

"Lebih baik aku siap-siap solat ashar" Ellena pergi ke kamar mandi.

***
"Oh gitu, makasih ya infonya, jan"

"Yo, sama-sama"

"Assalamualaikum"

"Waalaikumsalam"

Arjuna memasukkan ponselnya ke dalam kantong.

"Pak, sini biar saya tulis pesannya" Arjuna sedang ada di toko bunga langganannya.

"Sebenarnya, ini untuk siapa, jun?"

"Bukan siapa-siapa sih, pak. Cuman, ya liat nanti, pak." Arjuna selesai menuliskan pesannya

"Wah, pacar ya, jun?" Bapak pengantar bunga itu lumayan dekat dengan Arjuna, bahkan Arjuna sering sekali menceritakan kisah sekolahnya, temannya, gurunya. Tidak dengan Ellena. Ia ingin hanya dirinya, ibu, dan Allah yang tau.

"Bukan, pak." Arjuna tertawa

"Lalu?"

Arjuna hanya tersenyum. Pak Dedik tidak mau menggali lagi lebih dalam tentang bunga pesanan ini, dia hanya tersenyum memahami.

"Yasudah, bapak berangkat dulu ya. Assalamualaikum." Pak dedik menaiki motornya.

"Waalaikumsalam, hati-hati pak." motor bapak pengantar bunga itu pergi.

Arjuna tersenyum, berdoa dalam hati semoga dia tidak salah memilih.

Arjuna pulang dengan motor besarnya.

Tadi, dia bertanya tentang Ellena pada teman sekelasnya Ellena, Fauzan namanya. Arjuna sudah menyuruh Fauzan untuk tidak memberitahukan kepada Ellena bahwa dia bertanya tentang Ellena, dan hal unik didapatinya. Ternyata gadis itu selalu mengalami kekhawatiran berlebih beberapa hari sebelum ujian dilaksanakan, menurut Arjuna itu lucu. Setau Arjuna, Ellena memang pintar, tapi kenapa dia ragu?

Arjuna merasa ingin melindungi Ellena, ingin mendekapnya hangat, ingin mengatakan bahwa semua baik-baik saja karena dia akan selalu di sampingnya, namun Arjuna harus bersabar. Jika memang Ellena jodohnya, maka memang sudah takdir seperti itu, namun jika bukan, mungkin ada yang lebih baik di sana.
——————————————————
TBC

Putihku [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang