- 09 -

31.7K 2.4K 228
                                    

Mobil yang Mingyu kendarai sore itu membelah jalanan kota Seoul yang sepi. Melaju mulus diatas aspal, menuju sebuah rumah besar yang terletak di pinggir kota.

Lelaki itu tak bersama sang istri, tak juga sendiri. Namun, bersama seorang gadis yang sudah tak asing baginya. Duduk di kursi penumpang, melamun seraya menopang dagu memandangi ke arah luar jendela, hingga tak menyadari bahwa mobil yang Mingyu kendarai sudah berhenti.

Membenarkan posisi kaca atas agar menghadap wajah si gadis, Mingyu menghela nafas seraya menatapnya iba.

Usia gadis itu mungkin masih belum genap dua puluh lima tahun. Tapi, ia sudah diharuskan menjalani takdir mengerikan ini. Terpaksa merelakan harta yang selama ini ia jaga, terpaksa mengandung anak dari seseorang yang bahkan tak gadis itu kenal.

Hei, sebejat-bejatnya Mingyu dulu, tak pernah terpikirkan olehnya untuk meniduri gadis lain sebelum menikah. Hyojung adalah yang pertama dan Mingyu rasa apa yang dikatakan orang tuanya benar.

Melakukan itu akan terasa lebih menyenangkan setelah menikah. Seperti tak ada kekhawatiran yang berarti soal bagaimana nasib anak yang akan dikandung si wanita kelak....

Ah, Mingyu tiba-tiba saja memikirkan bagaimana nasib anak Jeon Wonwoo nanti jika mengetahui kalau ia terlahir dari sebuah kesepakatan gila yang ayah anak itu sendiri cetuskan.

Kali ini ia menghela nafas lebih panjang dari sebelumnya. Berusaha menyadarkan diri dari lamunannya, juga meyakinkan diri bahwa ia tak boleh ikut campur urusan atasannya itu lebih dari ini.

Detik berikutnya, deheman rendah yang cukup keras menjadi pengisi hening yang sempat tercipta. Membuat sang gadis dengan gerakan lambat melirik ke arahnya, menatap Mingyu penuh tanya. "Kita sudah sampai, Arin-ssi."

Arin tak menanggapi. Hanya mengalihkan mata untuk memandangi rumah besar dari sisi jendela seberang. Dengan ukuran berkali-kali lipat kamar apartemen kecilnya, rumah dengan cat putih gading itu mempunyai banyak jendela besar yang langsung menghadap jalanan.

Umumnya, gadis manapun pasti akan sangat senang dengan pemandangan ini karena merasa seperti berada di istana negeri dongeng yang megah, indah, dan mewah.

Tapi bagi Arin, ini justru adalah awal dari kesengsaraan hidupnya yang lain. Sebuah takdir menyakitkan lain yang hadir tanpa bisa ia hindari.

"Aku akan--"

Memotong ucapan Mingyu, Arin lantas membuka pintu mobil. Melangkah keluar dengan lesu, memandangi rumah besar itu tanpa ekspresi dan beberapa detik setelahnya, Mingyu terlihat keluar dari mobil hitamnya.

Memperhatikan Arin yang masih mematung, Mingyu menghampiri gadis itu. Kembali menghela nafasnya, tangannya lantas ia gerakkan untuk memegang kedua bahu Arin yang tegang. "Sekarang sebaiknya kau temui Hyung."

Gadis cantik itu menoleh ke arah Mingyu sejenak, mengangguk samar ia membiarkan pria itu menuntunnya masuk.

Berjalan perlahan melewati beberapa ruangan besar dengan ornamen-ornamen cantik itu, langkah keduanya terhenti pada satu ruangan dengan pintu coklat yang menjadi pembatas dengan ruangan dibaliknya.

Terdengar suara ketukan akibat pertemuan jari Mingyu dan kayu yang diukir indah tersebut. Arin masih mengamati, tapi suara apapun yang Mingyu ucapkan sama sekali tak terdengar di telinganya.

Pikirannya terlalu sibuk memikirkan soal adiknya, perjanjian gila ini, keharusan ia mengandung anak dari seorang pria yang tak ia kenal...

"Hyung hanya memintaku mengantarmu sampai disini," Mingyu berujar cukup keras dan tegas kali ini. Membuat Arin sepenuhnya tersadar dari lamunannya, memandangi Mingyu yang menatapnya dengan tatapan bersalah. "Aku sungguh-sungguh minta maaf--"

"Ini sama sekali bukan salah Anda, Kim Mingyu-ssi," ujarnya dingin, matanya menerawang. "Ini keputusanku sendiri dan dibanding dengan usaha adikku melawan penyakitnya selama ini, menerima tawaran CEO Anda itu bukanlah apa-apa."

Jika saja pintu di depannya tak terbuka, Mingyu mungkin akan memeluk Arin saat itu juga. Gadis itu jelas tak terlihat baik-baik saja. Kilatan takut jelas terlihat di matanya.

Belum lagi tangannya yang sedari tadi bertaut gelisah, juga bahunya yang terlihat menegang padahal Mingyu yakin gadis ini sudah mencoba untuk merilekskan dirinya berkali-kali.

"Kau..." sosok pria lain yang kini berdiri di depan itu memandangi Arin dari atas hingga kebawah. Sebelum melirik Mingyu sebagai tanda pengusiran.

Membuat Mingyu mengangguk seraya membalik badan dan berjalan menjauhi keduanya, sementara Arin masih berdiri ditempatnya. Membeku menandangi si pria lain yang membuat otaknya perlahan membawanya kembali pada kejadian di hotel beberapa hari lalu.

Tentang tugasnya untuk membantu pelayan di lantai VIP, tentang rambutnya yang tersangkut di kemeja pria itu, detak jantung tenangnya yang candu dan--

"Jeon Wonwoo-ssi?"

-- tentu saja, ia masih bisa mengingat nama ria itu dengan jelas.

Sedetik setelahnya, alis Wonwoo bergerak samar. Terkejut karena Arin masih mengingatnya padahal sudah beberapa hari berlalu dan Wonwoo yakin ia bukanlah satu-satunya penyewa yang dilayani oleh Arin hari itu.

"Bagaimana bisa--"

"Masuklah."

Mengikuti Wonwoo yang melangkah ke dalam, Arin yang sepertinya menjadi lebih tenang itu terlihat mencari-cari sosok lain di dalam ruangan luas itu. Sosok yang mungkin lebih tua, sosok yang ia anggap sebagai CEO dari Mingyu...

.... atau mungkin juga Wonwoo?

"Duduk saja di sofa itu," Wonwoo berujar sembari menatap sofa di ruangannya sebgai kode untuk menyuruh gadis itu duduk.

Mengangguk, Arin menuruti perkataan Wonwoo. Matanya masih menjelajahi ruangan hingga ke sudut-sudutnya. Memastikan kalau matanya tak melewatkan CEO tua yang 'menawarkan perjanjian' gila itu padanya.

Tapi sampai beberapa detik berikutnya, Arin tak menemukan apapun. Di ruangan itu, hanya ada dirinya dan Wonwoo yang kini duduk di sofa seberang.

"Maaf," rasa penasaran membuat Arin gatal untuk bertanya. "CEO yang Kim Mingyu-ssi maksud--"

"Disini," Wonwoo memotong ucapan Arin tenang. Memandangi gadis yang memang benar-benar belum memahami situasi saat ini.

"Ya?"

"CEO yang Kim Mingyu-ssi itu maksud...." ia menunjuk dirinya sendiri. ".... ada disini."

Mata Arin mengerjap, berusaha memahami situasi yang menurutnya aneh ini.

"Jeon Wonwoo. CEO Jeon Group."

Oh, jadi selama ini tak ada CEO tua yang akan meniduri Arin seperti yang ia bayangkan?

---
TBC

Just Need a Baby ✔ [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang