Aku terdiam di sudut suatu kafe, kedua tanganku menggenggam cup plastik frappuccino yang masih penuh sejak 2 jam yang lalu disediakan oleh pelayannya. Pandanganku mengabur lagi. Untuk kesekian kalinya tentu saja, sudah tak terhitung. Pertahanan yang sudah ku buat dari malam hari kini hilang begitu saja.
Iya, aku menangis lagi. Tidak terisak seperti biasanya. Hanya beberapa tetesan kecil membasahi kedua pipi ini. Tapi tetap saja, aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menangis lagi.
Mencoba menghilangkan hal yang mengganggu pemikiran ku belakangan ini, mataku sengaja edarkan ke arah luar melalui dinding kaca tepat di samping kanan ku. Aku menghempaskan napas, dengan berat tentu saja, berkali – kali.
Tapi tetap saja susah. Aku kembali mengingat kejadian itu. Entah lah, walaupun sudah sesakit ini, tapi memori otakku masih saja memutar ulang kejadian 3 minggu yang lalu.
Namun begitu emosiku kembali normal, air mataku sudah tidak keluar lagi. Aku dikejutkan dengan kehadiran Devon, entahlah harus ku sebut dia sebagai apa. Tapi yang pasti dia mempunyai andil terbesar di dalam otak dan bahkan saraf – sarafku sekarang ini.
Devon mengambil kursi tepat di hadapanku. Aku perhatikan penampilannya sekilas, hanya saja hari ini Devon terlihat berbeda. Ia terlihat sedikit lebih berantakan daripada biasanya. Bahkan aku bisa melihat jelas ia pasti sengaja tidak membersihkan rambut di sekitar dagunya.
Ah, bisa saja itu karena sudah hampir 3 minggu aku tidak bertemunya.
"Sha, gimana kabarnya?" lelaki itu membuka mulutnya, mencoba memulai topik pembicaraan.
Tch— gimana kabar katanya?
Apa penampilanku sekarang tidak menggambarkannya dengan jelas? Bahkan murid–murid di taman bermain yang aku temui tadi pagi saja bisa mengatakannya kalau aku tidak baik.
Kali ini aku meminum frappuccino menggunakan sedotan yang tertancap di cupnya. Alih – alih membasahi tenggorokan ku untuk sementara waktu saja. Sebenarnya aku sedang mengulur waktu. Agar aku bisa menikmati waktu ku dengan lelaki di hadapanku ini untuk sebentar saja.
"Ya... seperti yang kamu lihat sekarang,"
Tidak tahu dorongan dari arah mana, kata–kata yang barusan aku ucap keluar dari mulutku seperti sebuah sindiran untuknya. Sepertinya harga diriku cukup terluka begitu mendengar pertanyaannya. Makanya aku sampai berbicara seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'll Back Off... So You Can Live Better | ✓
Short Story"Biar aku yang pergi, Dev." "Maaf...." Asha terdiam, matanya sudah sangat sembab terlalu lelah untuk mengeluarkan tangis lagi. Menautkan pandangannya kepada kekasihnya yang terduduk di hadapannya. Kekasih yang sudah menemaninya selama kurang lebih 5...