David mencondongkan tubuhya di atas meja counter dan berbicara dengan nada setengah berbisik.
"Bisa bicara sebentar?" tanyanya."Nggak," jawabku ketus. "Aku sibuk. Kamu nggak lihat kalo aku sedang kerja?" lanjutku.
David menarik nafas panjang.
"Kalo begitu, aku akan menunggumu. Jam berapa kamu selesai?"Aku menatapnya kesal.
"Kamu nggak perlu menungguku. Lagipula apa yang ingin kamu bicarakan? Kenapa nggak bicara di rumah aja?"
"Justru karena aku nggak menemukanmu di rumah, makanya aku ke sini. Kamu terus menerus menghindariku," jawab David."Aku nggak menghindarimu. Lagipula nggak ada alasan untuk ketemu sama kamu 'kan?"
"Nana..."
"Nggak ada yang perlu dibicarain lagi, Vid. Kita udah putus."
Kalimatku terhenti ketika ada seorang pelanggan datang untuk membayar.Aku bekerja di sebuah toko roti sebagai kasir. Tokonya kecil, tapi kami punya banyak pelanggan setia. Sebenarnya aku tak terlalu menyukai pekerjaanku. Tapi sepertinya menjadi kasir adalah pekerjaan yang paling pas untuk orang cacat sepertiku. Yang kulakukan adalah duduk manis di belakang meja dan tak perlu berjalan kesana kemari.
"Akan kutunggu sampai kamu selesai kerja," David ngotot ketika aku sedang melayani pelanggan tersebut.
Dan lelaki itu serius dengan kata-katanya, ia menungguku dengan sabar di luar toko hingga aku selesai bekerja.
"Naiklah ke mobil, akan kuanterin kamu pulang," ucapnya lembut, sama seperti biasanya, seperti ketika ia masih jadi pacarku.
"Kenapa? Kenapa kamu harus nganterin aku pulang? Aku bukan pacarmu lagi."
"Apa kalo nggak jadi pacar maka aku nggak boleh ngenterin kamu pulang?""Nggak," jawabku langsung.
David nampak frustasi, dan aku tak peduli.
"Ya udah deh, mau bicara apa sih? Bicara aja. Aku harus segera pergi ke halte," ucapku lagi.
Lelaki berwajah lembut itu menatapku.
"Kenapa kamu menghindariku? Berkali-kali aku ke rumahmu, tapi aku nggak berhasil menemuimu."Aku terkekeh sinis. "Siapa yang menghindarimu? Aku kerja. Pagi berangkat, malam baru pulang. Lagipula sekarang pacarmu kan Ami. Ngapain juga kamu harus repot-repot menemuiku?" Emosiku nyaris sampai ubun-ubun.
Dan kedua mataku mengerjap ketika tiba-tiba David menangkup wajahku dengan tangannya. Dan bisa kurasakan tangannya yang hangat di pipiku. Tidak hanya itu saja, tanpa sungkan ia juga merapikan jaketku. "Udara malam ini dingin banget. Pake jaket yang betul," ucapnya.
"Jangan sampai kedinginan, nanti kamu bisa sakit," lanjutnya.Aku mengenalnya dengan baik. Dan tindakannya yang barusan tidak dibuat-buat. Ia melakukannya secara reflek, alamiah saja. Aku tahu ia berkhianat, tapi kenyataan bahwa ia lelaki yang baik dan penuh perhatian takkan pernah bisa kupungkiri.
"Kamu nggak bisa berbuat baik seperti ini terus, Vid. Aku bukan pacarmu lagi. Kamu juga nggak perlu repot-repot menjemputku sepulang bekerja. Aku akan membiasakan naik bis lagi, kayak dulu." Kali ini kalimatku lirih.
"Nana, aku cuma pengen nggak ada yang berubah di antara kita, meski aku telah menyakitimu. Setidaknya, aku pengen menjagamu layaknya seorang ... saudara," jawabnya.
Saudara? Hah, kata-kata itu terdengar begitu menyakitkan karena keluar dari mulut David.
"Aku berniat bicara jujur pada Ayah dan Ibu-mu. Aku akan meminta maaf secara langsung pada mereka setelah apa yang kulakukan padamu, pada Ami..."
"Jangan," potongku. "Jangan bicara dulu pada mereka. Beri waktu padaku, aku yang akan melakukannya."
David menatapku dengan sorot keberatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hitam Putih Cinta [Terbit Ebook]
Teen FictionAdikku mencintai pacarku. Dan pacarku pun mencintainya. Begitulah... Aku hancur, remuk, berkeping-keping. Merangkak, tertatih, aku mengumpulkan kembali kepingan-kepingan hati yang tercerai berai. Meratap, aku berusaha menyembuhkan luka hati walau s...