04.

1.9K 139 10
                                    

Varel sempat membawaku ke klinik setelah aku sempat tak sadarkan diri. Dan ketika aku membaik, aku ngotot meminta padanya agar mengantarkanku ke toko Dio tapi ia menolak dengan dalih toko Dio tidak aman.

"Toko itu cuma punya satu ruang kosong di dekat gudang. Dan aku nggak yakin kamu aman menginap di sana," protesnya.

"Aku pernah menginap beberapa kali di sana kok. Dan itu aman," sanggahku.

Varel menarik nafas. "Nana, aku nggak tahu apa yang membuatmu kabur dari rumah, tapi ..."
"Aku nggak kabur dari rumah," aku memotong kesal.

"Kalau begitu biarkan aku mengantarkanmu pulang?"

"Enggak," jawabku sengit.

Kami berpandangan.
"Baiklah. Tapi aku tetap nggak akan mengijinkanmu menginap di tokonya Dio. Jadi pilihanmu adalah, kamu tetap menginap di sini, di klinik ini? Atau, kamu membiarkanku mengantarkanmu pulang? Atau ... ikut pulang bersamaku ke apartemenku?"
 
Aku tak menjawab. Mencoba memikirkan jawaban. Tinggal di klinik tidak mungkin. Aku tak punya uang sama sekali untuk biaya perawatan. Pulang ke rumah juga tak mungkin, aku belum siap bertemu Ayah, Ibu, dan juga Ami. Selain itu, aku sudah terlanjur bilang kalau aku tidur di rumah kawan.

Menginap di apartemen Varel? Itu terdengar ...

"Dio orang baik 'kan?" Pertanyaan Varel memecah keheningan.

Aku menatapnya bingung. "Kenapa?"

"Dio orang yang baik. Dan percayalah ia juga punya teman-teman yang baik. Dan aku salah satu temannya. Jadi, kamu juga harus percaya padaku bahwa aku orang yang baik. Kamu aman menginap di apartemenku," jelas Varel.

Lama aku terdiam dan menimbang ajakannya. Hingga akhirnya aku setuju dengan idenya.

***

Apartemen Varel tidak bisa dikatakan mewah. Minimalis, dan elegan. Tapi itu lebih dari cukup untuk mengetahui bahwa ia berasal dari keluarga yang lumayan berada.

Ketika sampai di sana ia menyilakan aku untuk menempati sebuah kamar kosong di samping ruang baca. Ia meminjami aku beberapa bajunya yang muat kupakai beserta jaket tebal. Ketika aku sudah selesai berganti baju, ia bahkan menyiapkan makan malam dan mengantarkannya ke kamarku.

"Kamu tampak pucat. Masih kedinginan?" ia meletakkan nampan berisi makanan ke nakas lalu buru-buru mengambil selimut dan menyelimuti kakiku. Tak lupa ia menyingkirkan terlebih dahulu tongkat elbow di sisiku, lalu meletakkannya di samping meja.
"Agar kamu bisa makan dengan leluasa. Kecuali kalau kamu mau kusuapi?" ia terkikik.

Dan aku tersenyum sembari menggeleng.
"Aku udah besar dan nggak perlu disuapi," jawabku. "Tapi aku belum terlalu lapar. Aku akan makan nanti aja," lanjutku. Lelaki itu manggut-manggut.

"Ngomong-ngomong, kamu tinggal sendirian di sini?" tanyaku.

Varel mengangguk.
"Ayahku tinggal di apartemen sebelah, dengan istrinya," jawabnya jujur.

Aku menatapnya bingung.

"Ibuku meninggal sejak beberapa tahun yang lalu. Kemudian ayahku menikah lagi dan memutuskan untuk menempati apartemen sebelah. Jangan khawatir, hubungan kami, maksudku ayahku, ibu tiriku dan juga aku baik-baik aja kok. Kami nggak punya cerita kelam seperti yang ada di dalam drama," ia terkekeh.

"Sudah lama ibumu meninggal?" tanyaku lagi. Tiba-tiba aku merasa kasihan padanya.
"Kamu mau mengobrol?" Varel balik bertanya.
"Hm?"
"Aku belum mengantuk. Aku bisa menemanimu mengobrol kalau kamu butuh seseorang untuk berbagi cerita," ia menyarankan.

Dan akhirnya aku mengangguk. "Tapi kamu nggak akan naik ke ranjangku 'kan?" candaku.

Varel tertawa.
"Aku masih perjaka. Dan aku nggak akan menyerahkan keperjakaanku pada sembarang wanita," ia tergelak. Dan segera sebuah bantal kulayangkan ke kepalanya. Ia masih saja tertawa ketika mengambil bantal tersebut di lantai kemudian menyerahkan kembali kepadaku.

Hitam Putih Cinta [Terbit Ebook]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang