Indonesia Si Kapal Tua

10 1 0
                                    

Jaya Indonesia..

Sebagai anak Nelayan dari Lamakera

Saya melihat Indonesia itu seperti Kapal Tua

Yang berlayar tak tahu arah.

Arahnya ada, hanya Nahkoda kita yang tidak bisa membaca.

Mungkin dia bisa membaca

Tapi tertutup hasrat membabi buta

Hasrat hidupi keluarga, saudara, kolega, dan mungkin istri muda.

Indonesia itu memang seperti Kapal Tua

dengan penumpang berbagai rupa

Ada dari Sumatera, Jawa, Madura, Sumbawa hingga Papua.

Bersatu dalam Nusantara.

Enam kali sudah kita ganti Nahkoda

Tapi masih jauh dari kata “sejahtera”.

Dari dulu, dari teriakkan kata “merdeka”

sampai sekarang “folbek dong kakaaaaa”

Nahkoda pertama, Sang Proklamator bersama Hatta,

Membangun dengan semangat Pancasila

dan terkenal di kalangan wanita,

Ia pernah berkata mampu guncangkan dunia dengan sepuluh pemuda,

Tapi itukan kurang satu untuk tim sepak bola?

Kalo begini kapan baru kita ikut Piala Dunia?

Nahkoda kedua, Sang Jenderal Cendana 32 tahun berkuasa,

Datang dengan program bernama PELITA.

Bapak Pembangunan bagi mereka, bagi saya, tidak ada bedanya. Tidak ada.

Penumpang bersuara berakhir di penjara atau hilang di lautan tanpa berita.

Beda dengan Dodit Mulyanto, hanya modal Biola saja, terkenal di Indonesia.

Nahkoda ketiga, sang wakil yang naik tahta, mewarisi pecah belahnya masa Orba.

Belum sempat menjelajah Samudera, ia terhenti di tahun pertama.

Dibanggakan di Eropa, dipermainkan di Indonesia.

Jerman dapat ilmunya.

Kita dapat apa? Antrian panjang nonton filmnya.

Nahkoda selanjutnya, Sang Kyai dengan hati terbuka.

Mendapat gelar Bapak Tionghoa.

Mungkin inilah bapaknya Ahok dan Ernest Prakasa.

Ia terhenti dalam sidang Istimewa ketika tokoh-tokoh reformasi berebut Istana.

“Potong Bebek saja! Gitu aja kok repot!” kata Gusdur featuring Ursula.

Nahkoda kelima, Nahkoda pertama seorang wanita.

Dari tangan ibunya, Bendera Pusaka tercipta. Bukan bendera Slank yang berkibar di tiap acara.

Kata bapaknya, “Berikan aku sepuluh pemuda” tapi apa daya,

Itu di luar kemampuan ibu beranak tiga.

Kalau mau sepuluh pemuda, ambil saja dari followers Raditya Dika.

Cemunguuudhh eaa kakaaaaa..

Nahkoda keenam bagian A. Kenapa bagian A? Sengaja, biar tetap pada rima “A”.

Dua Pemilu mengungguli perolehan suara. Dua kali disumpah atas nama Garuda.

Tapi itu hanya awal cerita.

Cerita panjangnya terpampang di banyak media.

Lapindo, Munir, Century, Hambalang, kami menolak lupa!

Kini ia telah hadir di sosial media, mungkin bermaksud mengalahkan Raditya Dika.

Setelah empat album yang entah seperti apa,

mungkin dia akan membuat film,
Malam Minggu Istana, atau Cinta dalam Kasus Sutan Batugana.

2014 kini telah tiba.

Saatnya kita kembali memilih Nahkoda.

Pastikan dia yang mengerti Bhinneka Tunggal Ika, bukan Boneka Milik Amerika.

Dia yang mengerti suara kita, suara kalau Indonesia Bisa!

Bukan suara “aitakata”, “ea ea”, atau “folbek dong kakaaa”

Inilah cerita Kapal Tua kita. Ada yang tidak percaya?

Sudah kalian percaya saja!


*Abdur Arsyad (Komika)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 02, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Rajutan KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang