Cappucino-Americano

139 5 5
                                    

Kisah aneh ini dimulai dari sebuah tempat menjual kopi di pinggiran kota, terlalu mewah bila disebut kedai namun tidak bisa disebut cafe juga. Bukan tanpa maksud aku datang ke sini. Hanya untuk menemui seseorang dan menghargai undangannya saja. Cukup. Oh ya dan segelas cappucino panas.

Dengan suana hati yang kacau aku sampai di tempat ini. Namun aku tutupi tak enak rasanya bila bertemu orang baru, kupasang muka sedih dan lain sebagainya. Setelah memarkirkan Joeju-motor kesayanganku, aku segera masuk pada bagian utama tempat ini, memesan segelas cappucino panas lalu duduk di pojokan sambil mencari wajah seseorang.

Aku mulai mendapati wajah itu. Ku teriaki namanya, "Dev..!"

Dia menoleh ke arahku, segera menghampiriku dan memelukku erat seperti kawan yang sudah lama sekali tidak bertemu. Padahal tidak. Ini perjumpaan pertama kami. "Kamu sudah sampai rupanya. Sini aku kenalkan pada temanku." Katanya seraya menarik tanganku membawaku ke suatu tempat.

Ditaruhnya aku di hadapan dua orang wanita. Dikenalkannya aku pada mereka. Yang berkacamata ini panggilannya Re dan yang satu lagi Val. Nama ini harus ku ingat ditengah keterbatasanku, minimal sampai malam ini berakhir. Dan Dev pergi.

Menjenuhkan. Duduk di hadapan mereka yang diam saja. Aku tak suka dipenjarakan dalam diam! Ku tatap lagi wajah mereka. Ku lihat wajah Val, biasa saja tidak ada yang menarik, bukan orang yang terbuka, dan sedang semerawutan pikirannya. Lupakan dia. Lalu beralih pada Re. Rambutnya panjang ombre coklat dan berkacamata. Menggenakan sweater  abu bergambar anjing dan ada kerah mencuat dari balik sweater itu. Oh ya, dia menggenakan sepatu boots kulit berwarna coklat. Seperti lady rocker. Cukup menarik dan buat ku tertarik. Tapi dari semuanya aku lebih suka jarinya. Jari lentik, kurus, dan panjang. Memuaskan untuk digenggam.

"Kopi." kataku sambil mengangkat gelas.
"Ya silakan." jawab mereka.
"Sudah pesan?" tanyaku basa basi busuk.
"Sudah." Jawab Re.
Aku diam.
Bersyukur tak lama ada pelayan yg memgantarkan pesanan. Menaruh segelas besar kopi dan gelas tidak terlalu besar berisi teh di hadapan Re dan Val.
"Americano?" tanyaku.
"Ya." Jawab Re singkat.
"Pecandu kamu?" tanyaku
"Sedang butuh kopi." jawabnya lagi ketus.
"Nice."
Kami kembali diam.

Re ketus sekali. Dia seperti tidak suka aku di sana, tapi aku jadi makin tertarik ingin mengajaknya bicara terus. Tidak peduli sejengkel apa dia, lagipula kita belum tentu bertemu lagi.

Kulihat Dev mulai naik panggung. Dan mulai menyanyi. Aku terjebak dengan wanita membosankan ini. Damn!
Tak lama Re beranjak.

"Kamu sedang sedih?" tanyaku sok tau. Bermaksud ingin membuka pembicaraan.
"Sedikit" jawab Re.
"Mau cerita? Aku punya banyak waktu untuk mendengarkan." kataku berlebihan dan aku ingin ketawa sendiri. Ya.. hahaha mana ada orang yang bisa langsung bercarita semuanya tetang suasana hatinya dan semua-muanya pada pertemuan pertama. Dan kemudian merasa tolol.
"Tidak"
"Ok." Lebih tolol.
"Intinya aku br ditinggalkan seseorang"
"Turut berduka cita ya"
"Terimakasih"
"Jangan terlalu dipikirkan, dia bukan yang terbaik untuk kamu."
"Iya."
Kembali diam.

"Apakah kamu ingin menikah?" Tanyaku yang kemudian menyesal. Merasa goblok. Ahh, anjing!! Kenapa nanyain hal ga penting?!
"Mau." jawabnya.
"Mau punya anak?" Lebih goblok lagi.
"Nggak."
"Kenapa?" Tanyaku semakin merasa lebih lebih goblok.
"Kan aku maunya nikah sama perempuan!" tegasnya.
Aku tersenyum. Merasa senang. Entah kenapa. Padahal aku baru saja gagal akan hidup bersama dengan seseorang wanita yang aku cintai. Gagal akan menikah dengan dia. Gagal akan mengarungi lautan kehidupan dengan bahtera rumah tangga bersama dia. Gagal. Aku patah hati, dan merasa dicampakkan. "Berarti kamu harus dapat seseorang yang mature." sahutku.
"Iya." jawabnya.

Entah kenapa seperti ada harapan yang timbul mendengar kata-kata Re. Mencari wanita yang mau menikah dan hidup bersama wanita lagi itu tidak mudah. Aku tertarik padanya, tp untuk membina hubungan tertarik saja tidak  cukup.

Malam ini terasa begitu singkat. Dev selesai menyanyi. Tempat ini pun akan tutup. Aku dan Dev berencana melanjutkan perjalan ke sebuah tempat lounge untuk minum bir, namun Re memilih untuk tidak ikut dan pulang. Segera kubayar segelas cappucino yang aku minum tadi, tidak lupa membayar americano yang diminum Re sebagai upah telah menemani aku tanpa sepengetahuan Re. Namun ada fakta menarik yang aku dapatkan. Re ternyata menyukai Dev.

I Love You, Brengsek!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang