Pahit

74 5 4
                                    

Aku mengenal lelaki itu sebagai teman sekelas ku di kelas Sastra.

Aku menganggapnya sebagai lelaki berbeda, tentu saja beda.

Laki-laki biasanya jarang yang mau masuk kelas Sastra, bayangkan ada laki-laki yang mau menulis panjang-panjang dan mengarang cerpen. Belum lagi disaat membuat puisi, kadang harus bermain dengan kata-kata.

Biasanya lelaki malas dengan semua itu, mereka lebih menyukai menggambar, atau menghitung angka-angka daripada membuat sebuah kata menjadi kalimat yang indah.

Tapi dia berbeda, dia datang dengan senyuman manisnya, di tangannya terdapat note berwarna coklat.

Bahasanya sangat lembut dan santun. Karya puisinya mengagumkan, bahasanya menakjubkan. Karya-karya cerpennya memiliki makna. Tak sembarang tulisan hasil imajinasi semata.

Selalu membuat para guru tercengang. Anak kesayangan guru-guru, tulisannya bukan tulisan cakar ayam khas anak laki-laki, tulisannya rapi dengan kata-kata yang indah.

Wajahnya manis, jalannya tegap, badannya jangkung tinggi. Senyumannya memancarkan kharisma, suaranya terdengar tegas dan berwibawa, segala sesuatu yang aku sukai. Jika mendengar dia berbicara, aku yakin semua orang tau dia orang yang cerdas. Jangan bayangkan dia lelaki yang sedikit miring karena menyukai sastra, jika kau berpikir begitu kau salah besar, dia benar-benar lelaki. Hobinya sama seperti lelaki lain hobi bermain basket, atau menaiki gunung di saat weekend tiba. Bedanya setelah pulang dari gunung ia selalu membuat puisi. Puisi tentang indahnya puncak yang baru ia datangi.

Beberapa bulan aku hanya mengaguminya dari jauh, menatapnya bagaikan bintang yang indah tapi sulit untuk ku raih.

Memandangi senyuman manisnya semanis gula walaupun bukan untukku, membuka blog yang di tulis olehnya setiap hari, mengulang setiap bait puisi yang ia tulis, menatap diam-diam mata hitam legam yang indah penuh pancaran wibawa. Wangi maskulinnya yang selalu aku ingat bila ia tak sengaja melewatimu.
Beberapa bulan, diam-diam aku melihatnya dari kejauhan saat ia melakukan olahraga. Atau diam-diam aku menitipkan doa agar perjalanannya ketika menuju puncak selamat.

Tanpa kusadari, aku jatuh hati. Jatuh hati pada bintang disana, bintang yang paling terang dilangit.

Tanpa kusadari, beberapa malam sebelum tidur senyumannya selalu muncul di ingatanku, menghangatkan pipi dan hatiku. Menguatkan rindu agar cepat bertemu kembali.

Ya, aku mencintainya. Hati ini telah jatuh pada dirinya. Hati ini telah berlabuh pada dirinya.

Dirinya yang sangat dekat saat kelas Sastra, dirinya yang duduk dia kursi paling depan, dirinya yang 2 baris di depanku.
Dirinya sang bintang kelas, dirinya yang puisinya selalu bersanding di mading . Dirinya, dia! Dia yang beberapa baris di depanku!

Dia! Yang aku tatap dari kejauhan saat dia bermain basket. Dirinya yang selalu ku baca blog-nya. Dirinya yang selalu berpapasan denganku.

Tapi kenapa,

Tapi kenapa rasanya sangat susah untuk ku gapai.

Rasanya dia begitu jauh, rasanya begitu tak mungkin aku menggenggamnya. Rasanya dia bintang kejora yang berjarak ratusan kilometer dari diriku.

Lalu datanglah suatu kesempatan,
Datanglah suatu kesempatan yang mendatangkan harapan.

Membangkitkan harapan untuk gadis ini,
Gadis yang diam-diam menatapnya dari kejauhan.

Gadis yang diam-diam menaruh hati padanya.

Kala itu terjadi kerja sama, kami disuruh membuat kumpulan puisi berasal dari daerah-daerah yang indah. Kami di pasang-pasangkan. Dan rasanya saat aku mendengar siapa nama pasangan ku, aku rasanya seperti ingin terbang, mengucap syukur berkali-kali.

Kumpulan Cerpen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang