Riuh, telingaku penging. Orang-orang berlalu lalang menghalangi trotoar jalan. Aku berusaha menepi, sejenak tuk melihat langit sore. Awannya terpecah tak beraturan. Angin yang membuatnya demikian. Aku suka renjana, dia selalu punya rencana. Hanya saja dia tidak bisa berbicara, tingkahnya terkadang kaku ketika menurunkan hujan. Ia menggelap seketika, membasuh tanah dengan air dan tak jarang guntur dijatuhkan juga. Aku sering meminta ia memberi aba-aba, terlebih ketika aku adalah seorang pelupa. Payungku seringkali tertinggal, sehingga pulang membawa basah. Selain bisu, dia juga tuli. Tak pernah mendengar apa yang aku katakan. Namun ia merupakan seniman yang hebat. Dia pandai berakting ketika kepulan asap menghantamnya, ia tak mengeluh dan tetaplah awan yang ia berikan tuk menjadi pelindungku dan pelindungmu dari teriknya si bulatan panas itu. Eksotis, ia juga pandai melukis. Ditariknya pita berwarna itu dari bawah kaki bukit, terciptalah pelangi. Saksi akan candaanmu dan candaanku bersemi kala itu pada saat hujan turun. Dan kita berhenti menepi, tuk hanya menikmati jagung bakar yang sama-sama sedang kugenggam ini. Bedanya, sekarang hanya kunikmati sendiri. Kau sedang pergi, tak memberi tahu kapan kau akan kembali. Renjana, ajariku menjadi sosok tabah sepertimu.
KAMU SEDANG MEMBACA
PUISI PENIKMAT ELEGI
Novela Juvenilkutarik garis, tipis namun tak terputus. diujung sini aku, kamu diujung lainnya. kita tercipta diantara titik terjauh. kudekapmu dengan kata. jadilah jarak tidak tampak nyata.