Prolog

18.3K 1.1K 36
                                    

"TIDAK!" Suara Pak Danu tegas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"TIDAK!" Suara Pak Danu tegas.

Ajeng terkejut.

Untuk pertama kali ayahnya menolak keinginan gadis itu. Energi pemberontakan yang bertahta di kepalanya mulai mendidih.

"Yah, dari kecil aku hidup bersama kopi. Lantas kenapa Ayah menolak saat aku punya impian pengin punya kafe kopi?" Nada bicara Ajeng mulai naik satu oktaf. "Kafe, Yah. Kafe! Bukan perkebunan kopi macam Juragan Dasim."

Pak Danu menghirup napas berat. Ajeng mengira pasti keuangan yang menjadi salah satu masalah. Sejak kecil dia sudah dibiasakan hidup sederhana. Tapi yang Ajeng bicarakan ini kafe, bukan memiliki perkebunan luas, dimana ayahnya hampir menghabiskan seluruh umur untuk bekerja. Entah apa lagi yang ada di pikiran ayahnya selain itu.

Sejak umur tiga tahun, Ajeng sudah akrab bermain dengan biji kopi. Ayahnya yang bekerja sebagai mandor pemilah kopi di perkebunan Juragan Dasim, hampir selalu mengajaknya ikut. Kadang Ajeng kecil dibiarkan membantu memilah biji, atau hanya sekedar bercanda dengan pekerja lain. Banyak yang mau menemaninya bermain dan bercerita, sembari tangan-tangan mereka bekerja cekatan memilah biji.

Umur dua belas tahun, Ajeng sudah bisa membedakan mana biji kopi dengan kualitas tinggi. Mana yang harus masuk grade dua atau tiga dan berakhir di industri kopi pabrikan.

Masuk SMP dia sudah bisa meracik kopi dengan enak. Sudah bisa membantu menjaga warung kopi sederhana milik ibu di dekat perempatan alun-alun kota. Bahkan ibunya mengakui, kalau warung jadi lebih ramai saat Ajeng ada di sana.

Tentulah. Ajeng masih harus sekolah, belajar dan lebih sering berada di perkebunan atau gudang tempat pemilahan biji. Ibunya lebih suka dia main di sana. Tak ada kontamimasi mata saat PSK yang mangkal di alun-alun, mampir ke warung ibunya. Atau saat waria pengamen yang lelah berkeliling dan melepaskan penat di sana.

'Nggak baik buat perkembangan Ajeng, Yah. Kalau di gudang kan orangnya jelas, tetangga semua.' Sepertinya alasan itu yang selalu ibunya lontarkan saat memilih memasrahkan Ajeng pada ayahnya.

"Kamu tahu biaya untuk bikin kafe?" tanya Pak Danu setelah tarikan napasnya yang kesekian kali.

Ajeng juga tahu persis, ayahnya tak punya cukup uang untuk mewujudkan impiannya. Dia harus mengusahakannya sendiri.

Pak Danu bekerja di tempat Juragan Dasim sudah puluhan tahun, hingga sekarang jadi tangan kanannya. Kalau Pak Danu bilang kopi itu yang terbaik, maka Juragan Dasim akan percaya, bahkan tanpa mengeceknya lebih dulu. Saking percayanya. Rumah dan mobil yang dipakai mereka pun hadiah dari Juragan Dasim.

"Aku ada tabungan hasil menang dua lomba kemarin, Yah."

"Tidak akan cukup, Jeng."

"Yang sederhana saja, Yah." Ajeng ngotot. "Amu juga nggak pengin yang wah."

Ujian SMA sudah di depan mata, jadi Ajeng pikir rencana ini bisa dia wujudkan setelah lulus, sambil mengambil kuliah.

Pak Danu tahu kemampuan otak Ajeng. Dia pasti mengizinkan jika anaknya memilih bekerja mengelola kafe sekaligus kuliah.

Tapi Ajeng kecewa, karena ayahnya masih menggeleng. Jeda entah berapa lama, karena ayahnya tak juga bersuara.

"Temukan biji kopi terbaik dan resep kopi terenak. Bawa ke sini biar Ayah icipi, baru kamu boleh berpikir lagi tentang kafe yang kamu bicarakan itu." Suara ayahnya tegas tak terbantah.

"Kenapa, Yah? Aku yakin pengetahuan tentang kopi terbaik sudah...."

"Jangan membantah. Itu harga mati." Pak Danu memotong tanpa iba. Dia tak memberi Ajeng kesempatan menawar.

"Alasannya?" tanya Ajeng hati-hati, takut jika syaratnya justru bertambah lagi.

"Kamu akan tahu setelah kamu temukan syarat itu."

Ajeng terdiam. Tak ada gunanya membantah titah ayahnya. Pak Danu bukan orang yang temperamen, tapi justru ketenangan dan keteguhannyalah yang membuat Ajeng bungkam.

Ambisi dan impian sedang membara di otak seorang bocah yang beranjak remaja.

Hanya satu tujuan Ajeng... menemukan kopi terbaik dan resep terenak. Bagaimanapun caranya!

♡♡♡

Whaa ha ha ha.... ada yg se galau saya gituuuh?
Semedi berhari-hari buat ganti cover sama pov??? 😂😂😂

Ampuuun dijeee.... sudah deh, fix, kita lanjuuuut yooook
Jangan lagi ada galau melanda
🙈🙈🙈

Proviso (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang