"Kenapa datang lagi?"
Sebuah pertanyaan memecah keheningan antara dua insan yang berbeda jenis. Si lawan bicara sibuk memotong waffle panas, meniup sebentar lalu memasukkannya ke dalam mulut.
"Kenapa tanya itu? Mau sarapan, 'kan? Apa lagi yang orang lakuin di pagi hari?" Jawaban enteng, menyeruput sedikit macchiatonya, "ey, duduk tenang di sana."
Si pelayan yang baru saja hendak pergi, kembali duduk di kursi café. "Aku mau kerja, tau? Nggak penting juga aku ngeliatin kamu sarapan."
"Duduk situ aja, penting buat aku liat kamu. Nanti kubilangin sama manager biar gajimu nggak kurang."
"Aku bahkan nggak tau namamu," dengusnya. Ingin sekali pergi dari situ dan balik kerja di dapur, tapi kakinya tidak bisa diajak kompromi untuk digerakkan, entah kenapa.
"Hoo, kode ngajak kenalan?"
"Enggak, kenapa mikir ke situ?"
"Nggak pa-pa, aku juga mau tau nama kamu." Si pria mengulurkan tangannya, "Genta, kamu?"
Ogah sih, tapi harus jaga tata krama—ujungnya dia juga bales ngejabat tangan Genta, "Gabriel."
"Kopinya enak, Gabriel. Buat sendiri, atau dibuat sama kokinya?" Genta menatap Gabriel lama. Wafflenya sudah abis tak tersisa daritadi, sementara macchiatonya masih dalam keadaan separuh utuh.
"Buat sendiri, di sini nggak ada koki. Jadi harus wajib bisa buat. Semua rasa racikannya sama, jadi nggak usah sok-sok muji." Gabriel tetap tidak merubah ekspresinya sejak duduk di situ—37 menit yang lalu. Pembicaraan yang terlalu monoton tidak membuatnya tertarik, menarik seulas senyim tipis pun tidak.
"Jelas beda, aku nyicipinnya pake rasa, jadi lebih enak." Gas terus Genta, jangan kasih celah.
"Rasa apa?"
"Rasa cinta."
"Gembelmu basi," cibir Gabriel.
"Gombal, Gabriel. Gembel dan gombal itu sesuatu yang sama sekali nggak cocok disamain." Genta menggeleng, meminum macchiatonya hingga tandas. "Kenapa pilih kerja di sini?"
"Pengen aja, kenapa jadi nyambung ke masalah pekerjaan? Kita bahkan kenal belum genap 48 jam." Gabriel berdiri, merapikan seragamnya yang sedikit terlipat, "makanan kamu udah abis, sana pulang—jangan lupa bayar, nominalnya bakal dikasih partnerku, sekalian bayar ke dia."
"Kenapa bukan kamu aja?"
Gabriel menolehkan sedikit kepalanya, menatap Genta dengan sinis, "Karena aku itu pelayan, bukan kasir."
Tertohok. Nusuk sampai ke hati ya, Genta? Pendekatan pertama : gagal.
*****
Kalau mau dibilang, jodoh itu 'nggak akan ke mana, ya? Bukan, nggak pas kata-katanya. Anggep aja, Genta lagi beruntung.
Ketemu gebetan di kampus, orang mana yang nggak seneng? Tapi, serius... Genta sama sekali nggak tau kalo Gabriel kuliah di kampus yang sama kayak dia.
"Awas, mau lewat. Ini kampus bukan punyamu," tutur Gabriel, wajahnya yang biasa datar saat ini lebih suram dari biasanya—mendekati dingin kalau belum jelas.
"Jelasin dulu kenapa kamu ada di sini? Aku nggak pernah liat kamu di sini?" Stop, Genta harus stop mulutnya yang mulai memborong banyak pertanyaan. Dua aja, yang paling penting.
"Kenapa tanya? Jelas aku di sini mau kuliah. Orang bego aja masih bisa mikir aku di sini mau ngapain, dipikir mau ngelayat?" cibir Gabriel, berjalan melewati Genta dengan pandangan angkuh—sikap yang lebih buruk daripada Gabriel di café.
"Gabriel, kamu—"
"Nylsoo, tuan yang terhormat. Bae Nylsoo, nggak ada yang namanya Gabriel di sini." Dia pergi meninggalkan Genta ke kelasnya. Dia ada jam pagi dan Genta benar-benar menghambatnya, akan diberi pelajaran jika ia terlambat.
Sementara Genta tertegun, menatap punggung Gabriel—Nylsoo dengan pandangan heran.
"Bae Nylsoo? Kayak pernah dengar?"
Ya sudahlah, masalah itu nanti Genta tanya ke temennya yang rajin masuk.
—Caramel Macchiato—
KAMU SEDANG MEMBACA
Caramel Macchiato
General FictionPilih mana, Gabriel si pelayan café atau Nylsoo si selebgram yang suka main ke club? Dua-duanya, sama saja, bukan?