Perspektif

20 6 2
                                    


"Ihh, Mama... Aku kan sudah ngumpulin sendiri semua uangku. Kok sekarang malah nggak dibolehin beli hape baru sih? Hapeku ini ya sudah jadul banget deh," kataku sebal.

"Jadul ndasmu. Hape mu yang sekarang ini keluaran minggu lalu ya.. Mama sudah beli mahal - mahal, eh sekarang kok malah minta baru." kata Mama sambil menjitak kepalaku tanpa ampun. Seketika aku meringis kesakitan.

"Ihh!! Aku benci mama!" kataku dengan amarah. Aku pun lari meninggalkan rumah.

******

Alhasil, sekarang aku sedang duduk sendirian di pojok warung bakso favoritku sambil mengomel dalam hati. Ketika aku sedang menikmati makananku dengan rakus, tiba – tiba aku mendengar suara bentakan keras.

"Apa, mbok?! Mbok nggak bisa baca? Mbok ini sebenarnya lulusan apa sih kok nggak bisa baca? Bisa - bisanya memberi kembalian yang seharusnya Rp1000 malah jadi Rp100.000," kata seorang ibu - ibu paruh baya, kepada seorang ibu yang mungkin usianya sudah mencapai kepala 4, sambil berkacak pinggang.

"Sepurane, ndara. Saya cuma lulusan sd. Saya sebenarnya bisa membaca. Tetapi, mata saya agak buram,"jawab ibu itu sambil menundukkan kepalanya.

"Pantes sih lulusan sd cuma bisa jadi pembantu. Lagian kalau matamu minus, kenapa nggak beli kacamata, mbok?! Apa otakmu juga ikutan minus?!" katanya lagi dengan kejinya. Aku spontan menggebrak meja mendengar perkataan perempuan itu. Aku bergegas menghampiri mereka.

"Ehm, misi, nyonya? Mbok ini manusia juga, oke? Punya keterbatasan. Berani banget lo bilang otaknya minus. Otak lo paling yang minus. Tanya itu yang baik - baik dong. Jangan sambet aja. Mbok ini pasti punya alesan sendiri. Hih! Ngerti, lo bosnya. Tapi nggak usah begini juga! Mulut lo tu di jaga, oke?" kataku sambil menunjuk - nunjuk dirinya. Aku tahu itu tindakan yang sangat tidak sopan tetapi amarah sudah mengambil alih diriku.

"Ih.. Apaan sih orang ini! Nggak usah ikut cam-, "

"Jadi mbok, kenapa belum cek mata?" kataku langsung memotong perkataan orang itu. Mbok itu terlihat takut tapi ia tetap menjawab pertanyaanku,

"Jadi, sebenarnya saya sudah ingin cek mata dari dulu. Nah tapi, kewajiban saya sebagai seorang ibu harus ditegakkan dulu. Suami saya sudah meninggal, jadi otomatis saya lah yang harus menafkahi anak-anak saya," mbok itu berhenti sebentar untuk mengambil nafas.

"Apalagi anak saya ada tiga. Dan saya nggak ingin anak saya berakhir seperti saya. Jadinya saya menunda segala kebutuhan saya dan langsung mencari kerja sampai kesini," kata mbok tersebut sambil tersenyum tegar. Aku kaget mendengar ceritanya. Aku langsung menggaet tangan mbok itu dan menariknya keluar dari warung itu.

"Eh, mau kemana kamu?" kata orang yang tadi memarahi si mbok. Aku berbalik sambil mencibir galak padanya,

"Mbok ini berhenti," aku pun terus berjalan sambil menarik si mbok.

******

"Ehm, maaf, nona. Tetapi saya tidak bisa berhenti dari pekerjaan ini. Ini satu - satunya sumber pencaharian saya. Jangan pedulikan saya, non. Terimakasih atas bantuannya," kata mbok tersebut sambil menundukkan kepala meminta maaf.

"Kata siapa ini satu-satunya sumber pencaharian mbok? Aku akan memberikan mbok pekerjaan. Percaya saja padaku! Oh ya, sebentar," aku merogoh celanaku, mengambil beberapa juta uang dari dompetku. Lalu aku menyodorkannya kepada mbok tersebut.

"Ehh!!! Mboten, ndara... Saya memang sudah tua dan hidup saya mungkin memang butuh penataan. Tapi saya tidak akan pernah meminta-minta uang," kata mbok tersebut tegas.

Aku mulai mengerti apa yang ia maksud. Menurutku dia memang membutuhkan uang, tetapi aku menghormati keputusannya untuk tidak meminta-meminta. Aku tersenyum maklum dan berkata,

"Baiklah, mbok. Aku mengerti. Ayo ikut aku! Aku akan beri pekerjaan untuk mbok. Tapi pertama - tama, kita harus ke dokter mata dulu untuk mengecek mata mbok itu! Ayo," kataku sambil kembali berjalan. Mbok itu akhirnya hanya mengangguk ragu dan mengikutiku sambil terus menundukkan kepala.

******

"Ma, aku ingin mempekerjakan mbok ini di rumah kita." kataku kepada mama sambil memasang tampang memohon-mohon.

"Hah? Maksudmu apa? Kamu ini ya sudah keluar mencak-mencak, kembalinya dengan orang asing. Maumu itu apa?" kata mama terheran-heran.

"Ayolah, ma... Aku sadar kesalahanku. Mbok ini cuman lulusan sd, suaminya sudah meninggal. Padahal ia harus menafkahi tiga anaknya. Mbok ini bahkan rela bekerja di bawah majikan yang tak tahu belas kasihan. Mama boleh memotong uang jajanku, asal mama mau mempekerjakan mbok ini. Kasihan ma..." aku mengambil nafas dan melanjutkan,

"Setelah mendengar cerita mbok ini, aku sadar bahwa aku adalah orang yang beruntung, ma. Hape baru tidaklah penting. Aku sadar bahwa aku sangat beruntung. Bisa lahir di keluarga yang baik - baik dan berkecukupan untuk membiayai segala kebutuhanku,"

"Aku sadar bahwa aku sama sekali tidak pernah bersyukur atas segala rezeki yang telah diberikan kepadaku. Bersyukur atas kenyataan bahwa aku tak perlu bekerja keras untuk sesuap nasi. Dan mbok ini, membantuku menyadari pentingnya bersyukur atas keberuntunganku itu. Bahwa tidak semua orang di dunia ini seberuntung diriku,"

"Sekarang aku ingin membantu mbok ini. Aku sadar bahwa ia jauh lebih baik daripada aku. Ia pandai bersyukur atas segala yang ia miliki. Ia berusaha mencari solusi terhadap masalah finansialnya dan tidak pernah mau berakhir meminta-minta di jalanan. Aku ingin membantunya, ma," kataku tersenyum lebar kepada mamaku.

******

"Ujian terbesar dalam hidup adalah ketika kamu tidak bisa mendapatkan apa yang kamu mau, tapi tetap bisa berkata 'terima kasih, Tuhan'. Bersyukurlah atas segala hal yang telah kamu miliki. Karena tidak semua orang bisa seberuntung dirimu,"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 08, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Chronicles Of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang