Hmm... Ini yang kedua kalinya!
Sahabat ku membuka pembicaraan, setelah beberapa saat kami sibuk dengan secangkir kopi yang diteguk berdua tanpa suara.
Harapanku untuk membangun kebahagiaan yang semestinya harus kandas menelan kepahitan. Pil pahit yang berlabel adat dan budaya. Atau karena egoisme jaman yang menuntut pengakuan, walau harus bertelanjang melalui arus eksistensinya. Entahlah.... ?
Aku yang sedari awal sibuk dengan handphone, bercanda dengan teman-teman via dunia maya, sontak mengangkat kepala, kebingungan dan menatap tajam padanya. Mencoba menerka-nerka, ada apa gerangan dengan sahabatku?
Yang tiba-tiba puitis dipenghujung malam yang tak berisik. Dan dia hanya menunduk tanpa menunggu kesepatan ku melanjutkan coletahnya...
Sob, kau kan tahu, aku dan dia sudah berhubungan sejak setahun belakangan ini. Hubungan itu ibarat hantu yang mengikutiku kemana pun aku pergi. Hubungan yang kadang kala membuat dada ini sesak, bukan karena soal rasa yang ada padanya. Justru gelombang rasa ini teramat besar. Semakin besar gelombangnya, maka semakin besar sesak yang kurasa.
Aku tahu dengan persis, bahwa hubungan yang seperti ini adalah hubungan yang salah. Hubungan yang hanya tinggal menunggu waktu akan mendatangkan murkaNya...
Trus...? Kataku yang sepertinya sudah bisa menebak, kemana arah pembicaraan ini!
Ya, itu tadi. Lanjutnya, sambil memegang gelas kopi yang sepertinya enggan untuk ia habiskan. Jawaban singkat yang tak memberi jawaban apa pun...
Maksudmu, Sob? Aku mencoba mendesak tuk melancutkan cerita...
Bukankah kita sama-sama tahu bahwa pacaran itu adalah sesuatu yang diharamkan dalam agama. Sehebat apa pun kita membuat alasan atau alibi mencari pembenaran, tetap saja ia akan berada pada letak dasarnya, haram. Ada banyak rujukan yang bisa ditemui tentang larangan akan hal ini. Lalu, mengapa aku masih terjebak dalam hal ini? Apa karena kadar cinta ku padaNya yang berkurang, Sob? Atau karena ada masalah dengan hatiku?
Huuuuhh.... Kali ini, aku yang menarik nafas begitu panjang. Sembari meneguk kopi yang kehatannya mulai habis, menatapnya tajam sembari menimbang-nimbang jawaban apa kiranya yang harus kuberi pada sahabatku ini. Paling tidak tuk meringankan resahnya...
Begini, Sob!
Aku sepakat denganmu. Bukan hanya sekedar sepakat sih, tapi benar-benar setuju denganmu, bahwa pacaran itu haram hukumnya dari aqidah yang kita anut. Bukankah guru ngaji kita dulu seringkali mengingatkan kita tentang bahaya dzina. Dan pacaran adalah salah satu bentuk dzina, bukan?
Jangankan guru ngaji kita, Sob, om google saja tahu,,,hehehe. Coba kau ketik 'hukum pacaran dalam islam', maka akan ada ribuan artikel yg membahas tentang ini.
" kucoba melempar lelucon, agar suasana bisa sedikit lebih cair, tapi sayang, raut wajahnya tetap datar sedatar-datarnya".
Aduh Sooob... Sepertinya kau benar-benar galau akut.
Okelah kalau begitu, aku lanjut ...
Kau kan tahu nih, dulu aku masuk dalam daftar playboy kelas cap kacang telur. Aku mah asyik-asyik saja. Asal dapat rame dan serunya. Tapi itu dulu! Dulu... Sekali. Sebelum aku putuskan untuk say no to pacaran.
Playboy cap kacang telor apaaan. Hubungannya dengan masalahku apa? Celetuknya, dengan nada yang sepertinya nggak bersahabat...
Maksudku, aku putuskan untuk tidak pacaran itu karena lebih banyak hal yang aku rasakan sia-sia dibandingkan manfaatnya.
Aku nggak usah jelaskan yah, sia-sianya apa? Dan manfaatnya apa? Tapi yang lebih penting nih, serius...! selama aku pacaran ibadahku berantakan. Kadang disaat aku ingin ibadah, otak dan hatiku berperang. Kadang aku berpikir untuk apa aku ibadah, sementara salah satu dosa besar masih saja aku kerjakan. Tapi hatiku tetap merasa aneh setiap kali mendengar panggilan adzan. Jadinya, aku ogah-ogahan ibadahnya. Alias bolong sana bolong sini. Hingga sampai akhirnya aku menemukan titik balik pada saat acara yang kita sebut temu kangen antar komunitas, dimana sebagian besar dari kita hadir dengan pasangan masing-masing. Kalau nggak salah, Itu 5 tahun yang lalu dan semoga kamu masih ingat sih? Acara yang selesai ketika matahari mulai bersinar. Gila, benar-benar gila. Bercengkrama, duduk berduaan dan banyak hal yang aku rasa dan lihat pada waktu itu, membuat nalarku menjadi liar. Namun alhamdulillah ada sesuatu disaat itu yang membuatku hatiku bergetar dan meninggalkan tempat tersebut, sekaligus menjadi pertanyaan mu yang sampai saat ini belum aku jawab.
Aku merasa takut, Sob. Tak pernah aku setakut itu...
Ketika mendengar suara adzan subuh berkumandang dan kita masih saja larut dalam pesta itu. Ada tarik ulur antara hati dan pikiranku. Menghabiskan waktu disini atau memenuhi panggilan adzan. Tapi entah apa yang menggerakkan ku, hingga kuputuskan untuk memenuhi panggilan adzan subuh tersebut.
Maka semenjak saat itu aku tinggalkan banyak hal, salah satunya, yah pacaran itu, Sob. Dan alhamdulillah, semuanya menjadi lebih baik.
Aku menyudahi pembicaraan, dan menunggu respon balik darinya. Tanggapan ataukah rentetan pertanyaan.
Namun kupandangi ia berkali-kali, tak ada tanda bahwa jawaban ku memuaskannya. Yang aku tangkap dari raut wajahnya, hanya garis keresahan, kekesalan dan kekecewaan. Dalam hati aku bertanya, apa gerangan yang membuatmu begitu berat melepaskan gundahmu, Sobat?
Kubiarkan hening malam menyatu dengannya, berharap ada damai yang bisa menyertai keresahan hatinya. Karena ada petuah yang pernah aku dengarkan, ''jika penyakit cinta menyerangmu, tak ada obat yang paling mujarab selain dari berdamai dengan diri sendiri''.
Sob, menurutmu,,, apa yang harus aku lakukan? Setelah berdiam lumayan lama, akhirnya ia angkat bicara. Sebuah pertanyaan yang sudah aku perkirakan akan keluar dari mulutnya.
Maka ku jawab dengan tegas,,, halalkan dia, Sob.....!!!
Temui orang tuanya, dan jangan menunda waktu. Karena tak baik menunda-nunda suatu kebaikan, titik.
Spontan, ia akhirnya mengangkat kepala. Menatapku dengan tatapan iba. Tatapan yang sama persis ketika seorang anak kecil merengek, meminta kepada sang Ibu sebuah mobil-mobilan yang ia yakin tak akan ia miliki. Bukan karena sang ibu tak ingin, tapi terlebih karena sang Ibu tak memiliki cukup uang untuk memenuhi keinginan sibuah hati.
Sob, kau kan tahu. Aku sudah pernah melamar seorang gadis, tapi aku gagal, hanya karena tak sanggup memenuhi uang panai permintaan orang tuanya.
Tapi itukan dulu, gadis yang beda, keluaga yang berbeda dan dari suku yang berbeda. Jadi cobalah dulu, hadapi dan jangan menyerah begitu dong.
Dia mengangkat kepala, sepertinya mencoba menahan bulir kristal mengalir dari sudut matanya. Sambil terbata-bataia berkata, "Sob, kemarin malam aku sudah bertemu kedua orang tuanya. Dan lagi-lagi...danlagi-lagi, aku berhadapan dengan hal yang sama. Kau tahu, Sob, setahun aku menabung, sebagai bekal untuk ini. Tetapi semua terasa sia-sia. Karena untuk memenuhi permintaan kedua orang tuanya, aku masih butuh waktu satu tahun lagi ..."
Tak tahu apa yang harus aku katakan. Yang ada dibenakku hanya pikiran kemarahan yang tak tahu harus kuluapkan kemana. "UANG PANAI, ADAT ISTIADAT ATAU KEJAHATAN TERSELEBUNG ATAS NAMA BUDAYA" ...?
Wawondula, 08 maret 2018