3. Ledakan emosi

293 15 50
                                    

Ketika kepercayaan dipertanyakan
maka seonggok hati terhinakan
***




"Kau bekerja di mana?" tanyaku lembut pada seorang perempuan berkulit seputih kapas.

Dia adalah perempuan keempat yang dibawa suamiku ke rumah ini. Keramahan dan sopan santunnya patut diacungi jempol. Aku memuji, namun perhatianku tak lepas meneliti dari kepala sampai ujung kaki, bahkan gelagatnya pun tak luput dari penilaianku.

Gadis ini terlihat jauh lebih baik dari jejeran mainan suamiku. Aku merasa cocok dengan kepribadiannya, dan ada kelegaan tersendiri jika suamiku bermain-main dengan perempuan bermata sipit ini.

Sepintas ia nampak seperti gadis Asia timur, tapi tidak, dia bukan perempuan keturunan negara tirai bambu. Karena bila dicermati lagi, semburat wajah Indonesia sangat melekat di paras orientalnya.

"Aku hanya pegawai biasa di sebuah pabrik, Kak," jawabnya sopan.

"Kau asli orang sini?"

"Bukan, Kak. Di sini aku hanya merantau." Ia menampilkan senyum terbaiknya.

Belum sempat menanggapi jawaban perempuan bertubuh mungil ini, aku memergoki sorot mata membunuh dari adikku Juan. Aku bisa menebak ketidak nyamanannya melihat suamiku yang tengah duduk berdampingan dengan perempuan itu. Segera ku alihkan dengan mengajak mereka ke ruang makan untuk menghindarkan suasana yang tak diinginkan.

"Uhm ... siapa namamu tadi?" tanyaku lagi sambil mengambil piring suamiku untuk mengisinya dengan makanan yang sudah ku siapkan.

Dengan cepat ia meraih piring itu dan berkata, "biar aku saja, Kak. Aku ingin melayani Arfa," ucapnya membuat adikku kesal dan langsung hengkang dari meja makan.

Aku tak menyalahkan sikap Juan, karena jauh dalam lubuk hatiku pun ada penolakan atas kondisi ini. Dia suamiku, segala hak atas dirinya termasuk melayani adalah milikku. Dan perempuan ini dengan lancang ingin mengambil hak itu.

Sejenak aku menatapnya yang masih menungguku melepas piring untuk Arfa. Tak bisa kupungkiri ada sepucuk rasa ingin mengusirnya, tapi kembali kutekan emosi itu mengingat perjanjian dan usulan yang kubuat sendiri.

Kulirik kebisuan suamiku tanpa ekspresi apapun. Tatapanku seakan mengemis pertolongan padanya agar melepasku dari keadaan ini, namun ia tak segan mengacuhkanku, bahkan menolak untuk memandangku. Ya, aku tau ia marah. Ia tak menyutujui usulanku membawa mereka ke rumah. Aku memahami bagaimana perasaannya yang tak ingin menodai rumah kami dengan kehadiran mereka. Tapi percayalah, aku punya alasan atas keputusanku.

Lalu, apa yang sedang kupikirkan sekarang? bukankah ini yang kuinginkan? dan kenapa aku menjadi manusia labil? bahkan perempuan ini pun tak tahu jika aku istri sah dari lelaki di sampingnya. Jadi, atas dasar apa aku marah?

Perlahan kulepas balutan tanganku pada piring itu. Aku tersenyum kaku melihatnya melayani suamiku dengan teliti. Sedikit demi sedikit rasa takut kehilangan merambat di seluruh urat nadiku, entah kenapa instingku mencuat menjejalkan prasangka-prasangka buruk tentang perempuan ini.

"Namaku April, Kak," ujarnya.

"Ah, ya. Maaf aku sedikit pelupa, tapi kali ini aku akan selalu mengingatnya," terangku menyambut kata darinya.

*******

"Tania, kau di mana?" Aku celingukan mengedarkan pandangan mencari sosok seorang stylist yang pernah mendandaniku saat pernikahan.

Ya, dimulai dari saling memuji di ruang make up waktu itu, pertemuan kami berakhir dengan saling tukar nomor ponsel. Sudah sering kami mengobrol dan saling berbagi suka duka lewat pesan atau telepon. Namun baru kali ini kami sempat untuk bertemu kembali karena satu hal.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 12, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

2 Roses (Kisah Nyata)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang