Prolog

455 30 28
                                    

Ketika kesepakatan terjalin
Konsekuensilah yang akan merobeknya
***

"Aku mohon hentikan," bisikku lirih, "aku tak kuat lagi."

Terlalu berlebihankah jika mengharapkan tubuh hangatnya kembali merengkuhku? Menenangkan kegundahanku? Menghapuskan rintihan yang tengah kulakukan?

Bahkan aku lupa kapan terakhir kalinya itu terjadi, karena terjebak dalam kesepakatan yang kami ciptakan sendiri.

Ia adalah suamiku, lelaki romantis penuh kejutan yang tak pernah luput memanjakanku. Sekilas ingatan saat ia memberi sebuah boneka beruang  tanpa sepengetahuanku. Kala sekuntum mawar merah kesukaanku tak pernah ia lewati untuk moment spesial kami. Ketika aku berulang tahun, ia mengabulkan permintaan hadiahku sebanyak 26 kado. Dan masih banyak lagi serangkaian kenangan yang tak bisa tertuang dalam kata-kata.

Mungkin bagi sebagian orang itu sangat menggelikan, tapi bagiku perkara kecil yang kekanak-kanakan itu justru menjadi partikel-partikel penyempurna keharmonisan kami. Aku beruntung memilikinya. Tak ada satu hal kecil pun tentangku yang lolos dari perhatiannya.

Tidak, bukan berarti ia sempurna. Mustahil tak ada percekcokan dalam satu ikatan, dan perbedaan pendapat selalu menjadi kambing hitam. Namun pertengkaran kami selalu berujung gelak tawa, menertawakan diri kami sendiri lalu kembali pada kemesraan.

Awal mula memergoki kecanduannya bermain-main dengan berbagai perempuan di luar sana membuat bayangan perpisahan bersarang di kepalaku. Seringkali kami memperdebatkan soal ini, tapi di ujung keputusan aku memilih mempercayainya karena bisa merasakan cintanya tak pernah berkurang padaku. Kuanggap saja itu hanyalah seruas kekurangan dan kecacatan penebus kata sempurna yang melekat pada diri suamiku.

"Aku bahagia," ucapku getir.

Kenapa rasanya berbeda? Dulu mengatakan kalimat itu terasa indah, sekarang bahkan air mata pun menolak menghentikan aksinya. Paru-paruku menyempit, nafasku semakin berat dan sesak menerima kenyataan pahit suami yang kupuja kini bagai orang asing.

Kemana larinya pelukan hangat itu? Kemana perginya pancaran cinta kasih di kedua netranya? Untuk menggapai fatamorgananya saja tulang-tulang ini seakan tak mampu menyangga tubuhku dengan benar. Aku mengerang merasakan ribuan tikaman meluluhlantakkan jiwa dan pikiranku. Tersadar bahwa ia semakin jauh lenyap dari jangkauanku meski keberadaannya tepat berjarak 1 centimeter. 

Bulir-bulir air mata terus terseret mematuhi aturan gaya gravitasi bumi, mereka berlomba-lomba menjatuhkan diri mengikuti ritme detik jarum jam yang berdetak melewati waktu. Tetes demi tetes berlarian menelusuri kulit, sesaat bergelantungan di dagu lalu terjun menemui daratan kain selimut yang melenyapkan mereka.

Sekotak ruangan bernuansakan cream nan lembut menjadi saksi bisu isak tangis seonggok hati yang terinfeksi. Bukan lagi dikatakan sakit, tapi ia tengah sekarat dalam balutan kawat berkarat penuh duri. Semakin hari, kawat itu semakin mencengkram erat, mengoyak setiap centi sanubari.

Bagai berjalan di jalanan terjal penuh serpihan kaca, kaki ini terseok-seok berusaha tegar dan terus berjalan meski harus kurelakan rasa sakit yang terus menggerogoti. Tak ada satupun tangan terulur, bukan karena mereka tak perduli, tapi seberkas kesalahan yang kulakukan sendirilah menjadi alasan kuat.

Aku tak pernah menyangka pembebasan ini menjadi petaka rumah tanggaku. Aku sendiri yang memilih dan menyodorkan perempuan itu untuk menyenangkan suamiku. Kupikir semua akan baik-baik saja seperti sebelum-sebelumnya. Namun aku salah.

Heningnya malam enggan untuk menghibur, seakan sengaja mengantarkan pada segelintir penyesalan. Aku berdiam diri di sudut kamar bersama rintihan pilu, menekan kepedihan yang tak mampu terbendung lagi.

Aku bersumpah ini menyakitkan. Entah kata apalagi yang dapat mewakilkan pengungkapan kehancuran dalam dada ini. Aku tersungkur di lantai yang dingin seperti sikapnya. Dengan sisa tenaga, tangan lemah ini meremas balutan selimut di tubuhku. Tak tau lagi seperti apa tampilanku sekarang, otak dan hati yang akan membusuk ini menyita seluruh perhatianku. Batinku menjerit.

Secercah asa yang ku miliki pun musnah terbunuh di tangannya tanpa belas kasihan. Aku meronta, aku memberontak, namun itu sia-sia. Dengan kondisiku ini, akan sangat beruntung jika aku hanya berbagi suami. Tapi tidak, hatinya telah bersemayam di pangkuan perempuan itu dan melupakan segala janji. Tak ada lagi yang bisa kulakukan selain menangis dan berlapang dada.

Terima kasih Ayah, kau adalah suami terbaikku.

Sampai detik ini kau masih menjadi panutanku.

Meskipun mungkin namaku telah terhapus dari benakmu.

Dan kursi hatimu bukan tersedia untukku lagi.

Tak apa.

Aku mengerti, karena kau pun mengerti tentangku.

Aku sadari kesalahan ini separuhnya milikku.

Aku yang memberi celah mawar lain tertanam di hatimu.

Aku yang membuat cintamu lari dariku.

Aku yang mengabaikan racun itu menjalar di antara kita.

Hingga akhirnya kata "kita" pecah menjadi "aku" dan "kau"

Aku menyesal Ayah.

Sejujurnya aku tak pernah ingin melihatmu bersama perempuan lain.

Tapi kebodohanku mengantarkan kita ke dalam kondisi ini.

Dan membuatmu menjadi orang lain.

Aku baik-baik saja Ayah.

Meskipun terkadang aku harus membiarkan mataku membengkak.

Aku terlalu cengeng.

Itu salahku.

Apa Ayah bahagia?

Aku bahagia jika kau bahagia, tapi ketahuilah bahwa aku tak bahagia dengan kalimat itu.

Sungguh aku merindukanmu.

Merindukan suami yang selalu memanjakanku.

Merindukan kemesraan kita.

Lihatlah sayang.

Bahkan mataku begitu perih karena terus menangis.

Intiplah sedikit hatiku.

Ia tengah menderita dengan luka besar yang menganga.

Aku sakit Ayah.

Sangat menyakitkan.

Aku marah Ayah, aku cemburu.

Aku tak rela.

Aku tak menginginkannya Ayah.

Ku mohon.

Sudahi kesakitan ini Yah.

Aku tak mampu membendungnya lagi.





Cerita ini diambil dari kisah nyata. Dan saya sudah mendapatkan persetujuan dari orang-orang yang bersangkutan. Tapi nama mereka akan disamarkan demi menjaga kenyamanan.

Kisah ini menguras bak mandi, eh. Maksudnya menguras perasaan. 😆 jadi siap-siap saja mengelus dada.

Semoga saja cara penyampaianku bisa mengena di hati kalian. Jika tidak, maafkanlah saya yang banyak kekurangan ini.

Note: jangan berharap ada adegan ehem-ehem ya.

Happy reading.
Jika berkenan, boleh tinggalkan jejak dengan voment nya.
Terima kasih.
Salam sayang dari saya. 😙 😆 see you next chapter.

2 Roses (Kisah Nyata)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang