Eins

1.8K 161 17
                                    

Januari 2016


Jakarta, Indonesia.

"Nduk, kamu ndak apa-apa?"

Mendengar ucapan ibunya yang ikut duduk di kamar miliknya, membuat Mutia menghentikan tangannya yang sedang melepas sanggul sederhananya.

"Gak apa-apa Bun, Muti gak kenapa-kenapa."

"Maafkan orangtua kamu ini ya nduk... kami salah selama ini...," ujar sang ibu pelan, perlahan mengusap matanya yang mulai basah. Mutia berdiri dari duduknya di depan meja riasnya, berjalan kearah tempat tidur dimana ibunya duduk dan menangis.

"Bun, jangan dipikirkan ya... Kita malah harus mensyukuri kejadian ini, Alloh menunjukkan semua sebelum terlambat." Mutia duduk di samping ibunya, memegang jari-jari putih dan kurus sang ibu yang sudah mulai dipenuhi kerutan. Sepasang tangan yang sudah menggendongnya saat bayi, menimangnya, mengajari segala hal, menyuapinya.

"Tapi, bunda dan ayah yang memaksa perjodohan ini, bunda yang mengenalkan Bagaskara sama kamu...." Bu Kusuma memegang kedua tangan Mutia dengan tangan kanannya.

"Muti tahu, apa yang bunda dan ayah lakukan, hanya untuk melindungi Muti. Dan Alloh juga sedang melindungi Muti bun, Alloh memberikan jawaban doa Muti selama ini."

Muti menghela nafas, duduk menghadap ke lemari kayunya, mencoba menerima suratan takdir yang Tuhan tentukan hari ini.

Harusnya hari ini adalah pertemuan dua keluarga untuk menentukan kelanjutan perjodohan dirinya dengan laki-laki bernama Bagaskara, anaknya Om Anwar, teman kerja ayah Mutia di departemen pariwisata. Pertemuan untuk yang kesekian kalinya selama enam bulan ini, dengan sosok laki-laki yang digadang-gadang oleh keluarganya cocok sebagai suami.

Muti hanya pasrah dan menerima niatan orangtuanya, lagian toh dia tidak memiliki calon pendamping. Setelah beberapa kali bertemu, Muti pikir, Bagas itu orangnya lumayan baik, cukup tampan, mapan secara finansial karena dia memiliki usaha percetakan buku dan beberapa toko stasionery.

Tapi, takdir menentukan lain. Hari ini yang direncanakan jika terjadi kecocokan keduanya dilanjut menentukan tanggal pernikahan, malah berakhir lain. Bagas, laki-laki itu dengan tegas akan menikahi wanita lain, dalam waktu dekat, demi pertanggung jawabannya pada asistennya yang sudah berbadan dua.

Ya Alloh Gusti, di umurnya yang sudah 29 tahun, Mutia kembali sendiri.

Ikrarnya yang tidak ingin berpacaran sejak kuliah, membuatnya membatasi diri bergaul dengan laki-laki.

"Nduk, apa yang kami lakukan karena kami menyayangi kamu...."

"Iya Bun, Mutia ngerti... Insya Alloh Mutia ikhlas dengan apa yang terjadi di hidup Mutia."

"Ya udah, ndak usah dibahas lagi ya nduk, anggap aja kejadian ini pertanda akan datang yang lebih baik lagi..."

"Aamiin.... In shaa Alloh bun." Mutia tersenyum menatap sayang ibunya.

"Iya Bun, terus bilang bapak, jangan putus silaturahmi dengan Om Anwar. Om Anwar gak salah, memang Mutia dengan mas Bagas gak berjodoh."

"Ya Alloh nduk, alhamdullilah, bunda punya anak dengan hati yang begitu baik."

"Bunda ngomong apa sih" Ucap Mutia malu

Baju kebaya merah muda yang dia pakai sudah dia tanggalkan, menggantinya dengan piyama merah.

"O iya Bun, kata pak Aji, dia udah dapat tanggal keberangkatan umrah kita, nanti pak Aji mau kerumah."

"Alhamdulillah, akhirnya berangkat juga...," ujar Bu Kusuma mengusap wajahnya penuh syukur. Setidaknya ada berita baik hari ini.

Jodoh || Three ShotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang