Drei

1.5K 180 31
                                    

Agustus 2017


Jakarta, Indonesia.

Mutia berjalan kearah teman-temannya yang sudah duduk duluan, mereka di cafe depan perumahan Muti tinggal, tempat biasa mereka menghabiskan Jumat sore sebelum mereka pulang ke rumah mereka masing-masing.

"Duh cyin.... kenalin dong gw sama si Alzam Alzam itu, penasaran deh gw," Roni menyeruput capucinonya sambil stalking IG laki-laki yang sedang dibicarakannya.

"Kenalin gimana sih, aku ketemu dia secara langsung juga gak pernah." Muti duduk membawa baki bersisi lemon tea dan potongan brownies bertabur keju. Muti melirik ponselnya yang sejak sejak pagi tadi sepi dari pesan-pesan seperti biasanya.

Ya, sejak obrolan seru mereka tiga bulan yang lalu, Mutia dan laki-laki bernama Conrad Alzam Ulrich ini jadi sering ngobrol via skype atau medsos yang lain. Apapun mereka bicarakan, membuat Mutia menjadi kenal bagaimanakah seorang Alzam itu, bagaimana perjuangan dia dulu mempertahankan keyakinannya ditengah-tengah pergaulannya. 

Membuat seorang Mutia diam-diam mengaguminya, diam-diam menunggu momen mereka saling bertukar cerita. Dan diam-diam hati kurang-bisa-diaturnya itu, merindukannya...

"Tapi telponan sering kan?" ledek Dede sambil membuka katalog oriflame di tangannya.

"Hubungan kalian gimana sih Muti?"

"Gak gimana-gimana... ya berteman aja lah," Muti tersenyum kepada teman-temannya.

Ya... dia mau berharap apa? jaraknya aja jauh gitu? berteman aja cukup mungkin...

"Dia pernah gak ucapin kata-kata yang menjurus apa gimana gitu...?" ucap Nadia ikut kepo.

"Aku paling ngobrol tentang apa yang aku lakuin hari ini, dia tanya apakah aku sudah makan, makan pakai apa, atau sudah sholat belum?" 

"Aaah so sweet banget sih... gw masih gak bisa bayangin tuh bule mengucap 'Assalamualaikum cinta'...," ucap Roni dengan wajah berbinar-binar.

"Iih... gemesnyaa...," ucap Dede. Rila hanya tersenyum menatap ketiga temannya yang kepo pada kehidupan Mutia.

"Tapi menurut lo, dia bakalan serius gak sih sama lo?" ucap Nadia sambil menyeruput kopi moca-nya.

"Ya aku gak tau, dia pernah tanya kalau dia pengin anggap aku lebih dari teman bagaimana? Tapi kembali ke realita lah guys, aku di sini, di Jakarta. Sedangkan dia disana, di Duisburg yang letaknya sebelah mananya Berlin aja aku gak tahu."

"Be real aja lah, yang udah di depan mata aja bisa berantakan apalagi yang jauh." Muti hanya tersenyum hampa, dia bukannya masih mengingat tentang Bagaskara, tapi dia takut berharap. 

Benar-benar takut berharap tinggi jika nanti jatuhnya lebih sakit. Cukup sekali dia berbunga-bunga lalu hancur begitu saja. 

"Hei, jangan pesimis gitu ah. Gw yakin Alloh pasti udah kasih lo rencana terbaik-Nya...," Ucap Rila menggenggam tangan Mutia.

"Iya cyin, jangan berhenti berharap, kebaikan dan kesabaran gak pernah mengecewakan...." Mutia tersenyum menatap teman-temannya yang ikut menggegam tangannya. 

"Thanks ya, entah gimana aku tanpa kalian...." 

"Assalamualaikum...," ucap seseorang di belakang Mutia.

"Waalaikum salam...," ucap Muti perlahan, dia bisa menebak dari suaranya. Mas Azka suami Rila sudah datang menjemput.

"OMG...."

"Subhanallah...."

"Ya Alloh gantengnya Ron...."

"Ho'oh Cyin... Usia matang, badan oke, senyum maut, dagu lancip, mata membius. Bunuh gw Dede, bunuh gw...," ucap Roni berisik.

Jodoh || Three ShotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang