t i g a

7 1 0
                                    

Bayu mulai memetik gitarnya membuat lantunan lagu yang gue mau, dan kita nyanyi bersama, bersamaan dengan itu gak sadar gue keinget pada peristiwa dua tahun yang lalu dan terus berputar bagaikan kaset yang gak bisa dihentikan.

They would yell, they would scream, they were fighting it out
She would hope, she would pray, she was waiting it out
Holding onto a dream
While she watches these walls fall down
Sharp words like knives, they were cutting her down
Shattered glass like the past, it's a memory now
Holding onto a dream
While she watches these walls fall down.

Hey, mom, hey, dad
When did this end?
When did you lose your happiness?
I'm here alone inside of this broken home, this broken home.

Wrote it down on the walls, she was screaming it out
Made it clear she's still here, are you listening now?
Just a ghost in the halls
Feeling empty, they're vacant now
All the battles, all the wars, all the times that you've fought
She's a scar, she's the bruises, she's that pain that you brought
There was life, there was life, there was love
Like a light and it's fading out.

Hey, mom, hey, dad
When did this end?
When did you lose your happiness?
I'm here alone inside of this broken home, this broken home
Who's right? Who's wrong?
Who really cares?
The fault, the blame, the pain's still there
I'm here alone inside of this broken home, this broken home.

***

Maret, 06/2011 at 8:10 PM

"Lo tuh gak guna sialan! Lo sama ayah tuh sama aja, lo tuh gak pantes hidup karena kalo lo hidup nanti sifat lo bakal sama persis kayak ayah, sama sama brengsek!" Bentak Tyaga kakak laki-laki gue dengan suara yang lantang sambil melayangkan pukulan ke pipi gue sampai sudut bibir gue mengeluarkan sedikit darah, gue yang masih duduk di kelas 3 SMP hanya terisak menahan perih yang ada dihati meresapinya perlahan dan menerima semuanya kalau kedepannya tidak akan baik-baik aja.

"Arghhh" lagi dia melayangkan pukulan di pelipis gue dan gue ngerasa pusing gak karuan.

"Tyaga!" Terdengar dengan samar teriakan ayah gue yang tadinya sedang beradu cek-cok dengan ibu gue, gue cuma gak mau mereka sahut-sahutan gak jelas tapi yang ada gue malah ditarik ke dapur sama kakak gue tapi bukan nenangin dia malah mengumpat dengan segala sumpah serapahnya dan melayangkan pukulan yang cukup.. sakit.

Dengan gerak cepat gue pun lari, dipikiran gue cuma satu yaitu kabur dari neraka itu, gue lari tanpa arah kemana pun itu sejauh mungkin terus berlari sampai gue ngerasa kaki gue lemes dan nafas yang tersenggal, gue memutuskan berhenti dengan telapak tangan yang menempel pada lutut setelah itu bersandar dipohon di dekat gue, mungkin kapan-kapan gue harus berterimakasih karena dia udah mau jadi teman gue malam ini.

Kemana gue harus pergi?

Gue inget ada sepupu perempuan gue yang tinggal agak jauh dari sini, dia di Bandung ikut suaminya. Sial, bahkan gue gak bawa handphone. Dengan napas yang masih sedikit memburu gue pun jalan dengan langkah gontai sambil mencari taksi lengkap dengan air mata dan ingus yang masih saja mengalir dengan deras. Malam itu dewi fortuna sedang mihak gue, kebetulan didepan perumahan rumah gue ada banyak taksi mangkal, tanpa pikir panjang gue pun naik dan ke tujuan yang gue maksud, persetanan dengan semuanya masalah ongkos bisa bayar di tempat tujuan.

Hampir seminggu gue di Bandung untung saja sedang libur panjang kelulusan sekolah, teman-teman gue pun penasaran dengan kabar gue yang sama sekali gak bisa di hubungin mereka coba menelpon seluruh keluarga gue tapi nihil semuanya bungkam, gue juga dengar simpang-siur kalau ibu dan kakak gue masuk rumah sakit karena ulah ayah gue, dan gak lupa kabar ayah gue yang disidang dengan pasal kekerasan dalam rumah tangga, gak cuma teman gue doang yang khawatir sama keadaan gue saudara-saudara gue juga lagi sibuk nanyain kabar gue kesemua orang terdekat gue, ibu juga pengen banget ketemu gue dan dijenguk sama gue tapi gue belum siap buat ketemu semuanya, gue belum siap dengan seribu pertanyaan yang akan terlontar dari mulut mereka gue butuh waktu untuk sendiri, semuanya gue tau tentunya dari sepupu gue ini, dan gue minta buat dia gak kasih tau siapa-siapa kalo gue ada dirumahnya sekarang. Jujur gue kecewa sama semuanya karena bisa bisanya mereka ngelakuin ini ke gue yang bisa ngerusak fisik dan batin gue. Mereka udah hancurin semuanya, masa depan gue, dan nama baik gue.

Sampai tuhan mengirim dia buat jadi obat penenang gue, dia temen SMP gue dia tau kalau gue ada di Bandung yang jadi masalah dia gak mau ngasih tau siapa yang udah bilang ke dia kalau gue ada di Bandung dia cuma bilang "berhenti nanya itu, gak penting Cha" gue tau dia khawatir banget sama keadaan gue yang sama sekali gak ada kabar. Dia Reza pradana, dia berhasil jadi pundak gue.

***

Dec, 23/2013 at 02:39 PM

"Kok jadi melow ya" celetuk Altaf tiba-tiba dan membuyarkan semua lamunan gue, gue pun menatap malas kearahnya.

Bayu mengangguk. "mending yang happy-happy aja, bahasa Indonesia tapi gak usah sok barat" ucapnya terkekeh.

"Laper" ucap Refiana.

"Ok, kayaknya emang waktunya makan" balas Bayu.

"Bawa apa Cha?" tanya Novarisa.

"Sandwhich, mau?"

Novarisa menggeleng. Vastia pun menanyakan kakak laki-laki gue sudah nikah atau belum gue hanya menggeleng, memang akhir-akhir ini gue cukup dekat sama dia, setelah dia minta maaf atas suruhan ayah gue, gue pun memaafkan dengan sedikit terpaksa. Dan kami tertawa ketika Novarisa mengatakan bahwa kakak lelaki Vastia sudah menikah dengan perempuan yang tidak disukai Vastia, karena tubuhnya yang sedikit gempal dan agak cerewet.

Hubungan gue dengan kakak gue sudah membaik, dia suka jemput gue kalau dia ada waktu atau sekedar nanyain kabar lewat via telfon. Yah, kabar yang sedikit baik.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 08, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FreedomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang