Dentingan pesan masuk dari ponselnya, menyadarkan Sera dari kegiatan mengarsir sebuah gambar di buku sketsa. Jam dinding menunjukan pukul sebelas malam. Ia masih terjaga, dan hanyut dengan sketsa wajah Mamanya yang sedang diarsir seapik mungkin.
Diliriknya sebentar gelembung pesan yang tertera di ponsel. Ini sudah menjadi pesan ke-10 dari Dean yang sama sekali enggan untuk dibalas. Alasannya masih sama seperti kemarin; bingung, tidak mau memberi harapan palsu kepada Dean dengan membalas pasan. Lagipula, pulsanya tersisa dua ratus perak. Hanya cukup mengirim satu pesan.
Sera lantas membalikan ponselnya dan menggesernya sedikit lebih jauh dari pandangan. Meregangkan sendi-sendi jemarinya sejenak, lalu menutup bukunya sebelum beranjak menuju jendela. Matanya berbinar memandang cahaya rembulan yang penuh. Malam ini adalah siklus purnama. Dan Sera, senang mengamati bulan berlama-lama.
Dihirupnya oksigen dalam, lalu mengeluarkannya dengan cepat, Sera berusaha menenangkan jiwanya sambil bersandar pada kusen. Padahal besok sekolah, dan hampir tengah malam begini Sera masih terjaga. Jujur saja, ia masih kepikiran dengan perkataan Gibran tadi sore. Bahkan cara Gibran memberi tatapan kepadanya pun, masih terngiyang jelas di kepalanya.
Sera bertanya-tanya, apa mungkin, ia terlalu menyinggung perasaan Gibran? Atau yang sebenarnya adalah, ia hanya salah paham dan menyakiti harga diri Gibran, sehingga setelah obrolan itu, Gibran enggan buka suara. Hanya mengatupkan bibir rapat tanpa mau menoleh kepadanya lagi selama hampir dua jam.
Lagian Ser, emangnya lu kenal dia sampe buat kesimpulan kayak gitu? Sera memukul pelipisnya pelan, merutuk dirinya yang asal tuding dan mungkin saja salah besar.
“Tapi, kan, udah jelas dia gak upacara, terus kepergok megang rokok di belakang sekolah!” Sera membalas nuraninya dengan membela diri. Kalau kayak gini, Sera malah jadi merana lagi setelah masalahnya dengan Dean selesai.
“Au ah!”
******
Sera tidak bisa tenang. Okelah bahwa dirinya bisa menghindar dari keberadaan 3 Serangkai lantaran tempat duduknya dengan mereka berjauhan. Ia juga bisa pura-pura tidak mengenal ketika berpapasan dengan Dean ataupun Gibran. Masalahnya, hari ini Pak Dede menyuruh dirinya menyiapkan materi debat untuk simulasi setelah istirahat kedua. Yang artinya, ia harus berkomunikasi dengan Gibran. Juga, entah kesialan macam apa hari ini sehingga dirinya harus remed pelajaran olahraga yaitu basket dengan Dean. Padahal, ada Dafa yang bisa diandalkan.“Daf, lo beneran gak bisa gantiin Dean?” Sera memohon dengan wajah nelangsa, manarik-narik ujung baju olahraga Dafa gelisah.
Dafa berdecak. “Lo tau kan, gimana otoriternya pak Kus? Gue gak mau kena poin cuma gara-gara lu. Tapi …,” Dafa menggantungkan ucapannya sejenak sembari memegang bahu Sera. “Gue minta tolong, jangan deket-deket sama Dean. Plis. Jangan kasih dia harapan palsu kalo lo emang gak suka sama dia.”
Mata Sera mengerjap. “Dari kemarin lo selalu ngelarang gue buat deket sama sahabat lo, terutama Dean. Awalnya lo bilang beda agama, terus sekarang PHP. Dan gue gak bisa nangkep maksud lo itu apa.”
“Pokonya, turutin aja omongan gue.”
“Lo gak ngasih gue kejelasan, buat apa gue nurutin lo. Lagian, gue curiga, sebenernya siapa di antara lo bertiga yang gak bener?”
“Lo cukup turutin—“
“Gue ini kakak lo. Kalo lo buat salah, pernah gue pojokin lo dan kasih tau ke Mama atau Papa? Lo bolos, lo pacaran, pernah gue aduin ke Mama?”
KAMU SEDANG MEMBACA
TLS [1] : Somehow
Teen FictionJangan pernah berpaling, karena siapa tahu takdir hanya berjarak 3 centi. Atau bisa jadi, mereka yang dihindari adalah orang-orang yang memberi warna berbeda dan kesan mendalam. Bagi Sera, 3 Serangkai hanyalah 3 laki-laki yang jauh dari kata "teman"...