Aku menatap padanya, yang tadi merengek untuk tidur siang di ruang keluarga ini bersamaku.
Matanya sudah terpejam dengan suara deru pendingin ruangan yang samar-samar beradu diantara helaan nafasnya, aku terdiam.
Laptop yang menyala dengan beberapa email penting tak bisa menarik atensiku darinya, ia yang terlelap damai di sampingku.
Pikiranku kembali melayang pada surat pagi ini, yang tergeletak begitu saja di meja kerja kamarku tanpa ingin kusentuh.
Aku tak siap untuk kembali pada masa lalu yang sudah kutinggalkan.
Memori itu mengangguku, membuatku tak menyadari ia sudah mengerjap sayu disampingku.
"Kenapa? apa ada yang salah?" terkesiap, aku refleks menggeleng. Memilih menuju dapur mempersiapkan air hangat untuknya lalu memasak makan malam kami.
"Mandilah" aku mengingatkannya, sembari menutup jendela yang terbuka sepanjang perjalanan menuju dapur.
ia hanya mengekori langkahku menuju kamar mandi disamping dapur.
Membiarkanku masuk kedalam untuk mengisi bathup dan memastikannya cukup hangat sebelum menuang sedikit milk bath miliknya di permukaan air.
"Ingat kau-"
"Harus sangat hati-hati dan segera memanggilku jika terjadi apapun, aku mengerti Artha" Aku menghela nafas, memilih membiarkan ia membersihkan diri sementara aku mempersiapkan makan malam.
Tak lama ia keluar, lengkap dengan aroma milk bath yang lembut membungkus tubuhnya. Aku melirik, memastikan tak ada yang salah padanya.
"Aku tak menemukan piyama kelinciku" ia mengadu, membuatku yang tengah memindahkan hasil masakan sedikit menoleh.
"Yakin tidak terselip di antara tumpukan bajuku?" tanyaku ringan, kami memang berbagi ruang pakaian dan terkadang bajunya atau bajuku bisa saling terselip diantara tumpukan rapi kain, tersimpan di kamar ganti yang tersambung dengan kamar mandi.
Ia menggeleng "Sepertinya tidak" balasnya masih dengan posisi duduk yang sama sedang mengeringkan rambutnya.
"Mungkin masih di laundry, besok mereka datang" aku bergumam, menyajikan makanan tadi diatas meja lalu mengambil alih handuknya saat ia sedikit terlihat kasar mengusap rambutnya.
"Lebih lembut" aku memperingati, mencontohkan padanya dengan sabar "Rambutmu bisa rontok, dan bisa membuat kulit kepalamu lecet"
Ia tak membalas, membiarkan aku mengeringkan rambutnya dengan perlahan sampai terasa cukup lembab.
Setelahnya kami makan dalam suasana tenang, ia tak berbicara banyak dan aku sesekali memperhatikan cara makannya dan memastikan tidak ada yang salah tentang itu.
"Aku ingin mencuci piring" ia berceletuk, saat aku tengah menyusun piring-piring melanin yang telah kami pakai tadi. Aku menatapnya keberatan, tanganku masih bergerak membersihkan alat makan melanin lain yang telah kami pakai dari atas meja makan.
"Ayolah Artha, peralatan makan kita terbuat dari melanin bukan kaca. Itu takkan melukaiku" ia memohon, matanya menatap pada peralatan makan kotor kami yang jauh dari kata berbahaya dengan pandangan memohon.
Aku menghela nafas, pemandangan yang sering terjadi.
"Tidak, Lu. Pergilah ke ruang tengah, film yang kau tunggu akan segera dimulai" aku mengusirnya secara halus, ia sempat mencebikkan bibirnya sebelum berlalu menuju ruang tengah meninggalkanku.
Aku sempat meliriknya dari areal wastafel, masih sedikit cemberut dengan tangan yang sibuk memindahkan channel televisi.
Sempatkah ku katakan betapa manisnya dirimu saat merajuk seperti itu, Lu?
---Ia tak berkata banyak, menyaksikan film bertema nasionalis itu dengan mata tak berkedip sembari sesekali mengulang dialog yang berkesan untuknya.
"Artha" ia berbisik, takut mengangguku yang ikut larut dalam film itu. Aku bergumam, melirik padanya.
"Apa menonton televisi tengah malam selalu semengasyikan ini?" pertanyaannya membuat keningku kembali berkerut, ia terkekeh ringan mengeratkan selimut dari sisi tubuhnya.
"Aku selalu mendapatimu menonton televisi tengah malam, boleh tidak aku ikut menyaksikannya bersamamu?" aku terdiam, memikirkan jawaban apa yang tepat untuknya.
Tapi ia terburu menoleh lagi pada televisi yang kembali menanyangkan film nasionalis tadi setelah jeda iklan.
Aku masih terdiam, tidak sulit membuat penolakan atas nama kesehatan sosok disampingku.
Tapi dia Laluna, sosok yang memang selalu berhasil menjadi beban pikiranku selama ini.
Ia seperti biasa selalu menyadari, saat aku kehilangan fokus akibat perkataan perkataan sepelenya yang tiba-tiba.
Jadi ia bergumam, menyembunyikan bibirnya dalam lipatan selimut berwarna baby pink miliknya.
"Tak apa Artha, menonton film malam ini bersamamu sudah sangat menyenangkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Laluna
General FictionAku tak berhasil mengerti, bahwa kau hanya dititipkan bukan dihadiahkan untukku. Dan dirimu, sosok hebat yang berhasil menjungkir balikkan hidupku. Sosok yang membuatku rindu menuliskan tentang betapa mengagumkannya dirimu diatas kertas agar bisa s...