13

512 152 4
                                    

Sesuai yang kurencanakan, aku baru saja selesai menikmati makan malam yang sedikit lebih cepat guna menghadiri rapat khusus yang diadakan 45 menit lagi.

Pak Habibie kembali berpapasan denganku, tepat setelah aku keluar dari areal kafetaria.

"Rapatnya segera dimulai, ayo!" ajaknya begitu ia menatap padaku, beberapa orang yang menyertainya berhenti seiring langkah pimpinannya yang terhenti untuk menungguiku.

"Kalian sudah mengenalnya kan?" membawa bahuku agar semakin dekat padanya, Pak Habibie tersenyum dengan wajah bangga "Dia Hala Eartha, kepercayaanku dalam divisinya. Sudah seperti anak lanang ku" Pak Habibie memperkenalkan dengan nada bangga itu membuatku mengangguk kaku saat mata orang-orang yang menyertai langkah pak Habibie menatapku dengan berbagai ekspresi.

Pak Habibie memang senang membanggakanku secara berlebihan, sungguh membuatku merasa seolah anak semata wayangnya.

Beberapa dari mereka memuji, sembari kami melangkah memasuki lift. Aku menanggapinya dengan kaku sementara Pak Habibie terkekeh hangat membalasnya.

Dua beagle itu sudah dapat dipastikan telah menghilang dari areal kantor, kata lembur mungkin adalah istilah yang paling mengerikan bagi kedua orang muda dengan perangai menyebalkan itu.

Ruangan kantor lenggang, hanya diisi beberapa orang yang memilih bekerja hingga larut malam agar bisa datang agak siang esok hari. Aku menatap ke dalam sejenak sebelum mengikuti langkah Pak Habibie menuju ruang kaca yang nampak buram hingga batas leher orang dewasa itu.

Ruangan ini ruang rapat utama, dan semua orang tengah berbincang menunggu waktu rapat tiba. Aku memilih menjauh, mengasingkan diri lalu merogoh ponselku dan menarikan jemari diatasnya.

Aku melakukan panggilan keluar, tertuju pada satu nomor yang selalu diandalkan di hari seperti ini. Menunggu nada dering dengan sabar, aku mengantongi satu tanganku dalam celana kerja yang ku kenakan.

"Ah, mbak Erika" sapaku seramah mungkin, kakiku melangkah mendekati sisi kaca dan memperhatikan pemandangan kantor yang lenggang dari permukaan kaca yang tidak buram.

"Iya, seperti biasa, mbak. Tolong.. jaga Laluna sedikit lebih lama dan pastikan dia makan malam dengan baik. Dia pasti mau baca novelnya, tak apa kalau dia tak ingin langsung tidur" pesanku, setelah mendengar perkataan mbak Erika diujung telepon.

Tetangga kami itu sudah hafal tentang ini sebenarnya tapi sudah menjadi kebiasaanku untuk selalu mengabari mbak Erika setiap aku melemburkan diri.

Laluna selalu di temani tetangga sebelah rumahku itu setelah aku berangkat bekerja, Mbak Erika dan beberapa tetangga di sekitar rumah kami lah yang dapat membantu menjaga dan mengawasi aktivitasnya selama aku tidak berada disekitar gadis itu.

Mbak Erika terkekeh di dalam sambungan telepon, tapi aku tahu ia menyanggupi pesan-pesanku tadi. Ia hanya selalu terkekeh meskipun telah mendengar pesanku itu berkali-kali.

Wajar, aku memang terlalu memperlakukan sesosok orang dewasa itu layaknya seorang balita.

Mbak Erika menyanggupi, meski tadi sempat memberitahu bahwa ia akan sedikit terlambat meng-check keadaan Laluna karna ia tengah di perjalanan pulang sehabis mengantar keponakannya kembali kerumah saudaranya.

"Iya, ngga masalah mbak." aku menoleh, memastikan masih ada waktu sebelum rapat dimulai lalu menyudahi panggilan setelah mengucapkan terimakasih dan salam.

Aku mendekati meja rapat, beberapa dari orang yang berbincang sudah mulai duduk disana. Tapi langkahku terhenti, setelah ponselku bergetar untuk sebuah panggilan telepon.

"Ahoi! ku ramal kau sepertinya masih dikantor untuk rapat khusus!" mendengar sapaan itu aku sudah dengan alamiah memutar mataku, siapa lagi kalau bukan satu dari dua beagle yang gemar mengusik ketenanganku.

"Ada apa?" aku bergumam, malas menanggapi sapaannya tadi yang konyol. Ia terkekeh, diiringi tawa familiar lain yang terdengar di dalam sambungan telepon.

"Kita habis nongkrong di GM, take a way Yoshinoya" dengan sangat tidak penting ia mengabarkan kegiatan kedua manusia kurang kerjaan itu, aku menghela nafas.

"Lalu kenapa?" aku mengusap kening, pembicaraan membuang waktu ini cukup membuat sakit kepala ringan yang mengesalkan.

"Ya ngga papa sih, cuma keingetan sebagai sahabat yang baik kita berdua mau bawain makanan buat manusia workaholic seperti kau" balasnya dengan nada yang dibuat-buat, sukses membuatku mendengus.

Sahabat?

"Jangan aneh-aneh, pulang sekarang sebelum kalian berpikiran untuk clubbing. Besok ada agenda penting" aku mendesah melirik pada kedua meja kosong yang menghimpit meja kerjaku.

Ada suara decakan sebelum ia membalas lagi "woke! kita meluncur" lalu sekejap, telepon itu diputus tanpa salam atau kalimat penutup.

Aku mendesah, malas mengambil pusing tentang itu dan ikut duduk saat ruangan mulai diisi oleh para jajaran direksi dan pimpinan divisi.

Aku mensenyapkan ponselku, meletakannya dalam saku celana dan menoleh pada Pak Habibie yang memilih duduk berhadapan denganku dengan sebuah senyum.

Aku mensenyapkan ponselku, meletakannya dalam saku celana dan menoleh pada Pak Habibie yang memilih duduk berhadapan denganku dengan sebuah senyum

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
LalunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang