3. Ia (Spica) | Ongniel

1.1K 160 99
                                    


Seandainya pun bisa pergi naik roket melintasi satu demi satu planet dan satelitnya, Daniel tidak akan bisa mengantongi ia pulang. Ia, satu-satunya bintang yang Daniel sematkan dalam inginnya. Ia, Spica.

----

Daniel memandangi layar ponselnya. Gelap. Sudah lebih dari 2 jam dan tidak ada satu pun notifikasi pesan yang masuk dari ia. Mungkin ia masih sibuk. Pikir Daniel sembari menghela nafas dalam. Diarahkan matanya menuju jendela besar di sisi kamar yang tak terlindung gorden. Dari pantulan kaca, Daniel bisa melihat dirinya tengah berbaring di atas kasur, menyatu dengan pemandangan langit malam yang cerah tak berawan.

Bibirnya membentuk sebuah senyum simpul. Setidaknya, Daniel tidak sendiri. Di antara hamparan biru pekat tak berujung, berkumpul bintang-bintang yang mengintip dari balik jendela. Seolah berebut posisi terdepan untuk menghibur Daniel yang tengah menahan mulas di atas kasur, seolah berseru bergantian lewat kerlap-kerlip jenaka supaya tidak tidur dahulu. Supaya Daniel tidak bosan untuk menunggu. Supaya terobati sakitnya ketika dada terlanjur sesak ditempa rindu.

Malam ini pun Daniel tak bisa melakukan apa-apa selain mendamba. Seperti malam-malam sebelumnya.

Pendaran bintang di langit pertengahan April selalu mengingatkan Daniel akan ia. Ia banyak bercerita tentang nama-nama bintang dan benda langit. Tentang fenomena-fenomena luar angkasa dan betapa kecil umat manusia dibandingkan dengan itu semua. Tentang planet-planet berputar dan kehidupan lain selain di Bumi. Tentang semua hal yang Daniel tidak pernah pelajari selama dirinya berkutat dengan tahun-tahun malasnya di sekolah.

Tentang hal yang Daniel mungkin tidak akan mengerti jika dikatakan oleh orang lain. Orang lain selain ia.

Ia, Spica.

Mata Daniel mulai memberat, mengantuk. Seluruh badan remuk redam, meskipun sejauh yang dirinya ingat, seharian ini hanya dihabiskan untuk berkutat di depan layar komputer kantor tanpa berkedip. Juga sedikit olah raga lari ketika diminta beberapa karyawan senior untuk bolak-balik ruang fotokopi dan pantry. Daniel butuh semangatnya kembali. Butuh memberitahu ia tentang bagaimana hari pertamanya sebagai budak korporat bisa terlewati. Daniel butuh ia. Ia dan cahayanya yang hangat. Ia, Spica.

Layar dari ponsel Daniel berkedip satu kali. Seolah memberikan Daniel ucapan selamat karena penantiannya tidak sia-sia. Malam itu ia akhirnya membalas pesan dari Daniel yang bertanya apakah ia sedang sibuk. Tangan Daniel dengan sigap meraih ponsel di sebelah kirinya. Dirinya rindu. Dia ingin memberitahu. Ingin rasanya Daniel melompati sekian jarak dan ratusan tahun cahaya untuk mendekap ia.

Ia, Spica.

----

Pendaran bintang di langit pertengahan April selalu mengingatkan Daniel akan ia. Ia pernah bercerita beberapa tahun lalu, ketika ia menyeret Daniel ke taman secara sembunyi-sembunyi untuk sekadar mengajaknya menyesap rokok. Daniel tidak pernah merokok sebelumnya. Tidak seperti ia yang sudah lebih dulu candu. Daniel hanya diam tidak menolak ketika ia memantikkan korek api untuk dirinya yang diliputi rasa gugup dengan sebatang rokok di antara kedua bibirnya. Daniel tidak suka membantah ia. Tidak akan pernah bisa.

Duduk di atas ayunan kayu yang berdecit samar-samar ia bertanya, "Pernah dengar bintang Spica?"

Masih segar dalam ingatan saat Daniel justru menjawab dengan batuk-batuk heboh, tidak sengaja menelan kepulan asap rokoknya sendiri. Daniel ingat tawa renyah dari sisi kanan tubuhnya, ingat saat ia menepuk-nepuk punggung Daniel agak keras. "Pertengahan musim semi menuju musim panas ada bintang terang sekali. Warnanya biru dan putih. Katanya penanda kalau sudah masa panen. Namanya Spica. Bintang paling terang di antara rasi Virgo yang lain."

Downpour and ReverieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang