Aku bangun pukul sebelas kurang lima menit dan kudapati makhluk asing berdiam dalam cermin persegi panjang di ujung ranjang. Ia berantakan, dengan luka lebam dan sakit kepala hebat, lalu sesuatu telah direnggut dari rongga dadanya. Bukan jantung yang berkedut-kedut mempertahankan eksistensi kesadarannya, bukan pula paru-paru yang kembang kempis menopang kedutan jantungnya. Aku kehabisan akal dalam diam bersama rasa ingin tahu yang nenetap makin dalam.
Entah apa yang telah direnggut dari rongga dadanya, tapi aku mencium bau sakit luar biasa menguar dari lubang kosong dalam rongga dadanya. Ia mengerang-erang lantas menggelinjang, kaki dan tangannya menyepak batas antara aku dengan tubuhnya. Sampai-sampai kaca persegi panjang dalam kamarku retak tidak keruan dan beberapa terlepas. Aku mendesis, wajahku diterpa remahan kaca dan kayu jati. Tapi aku tahu, sakitnya tidak berkurang barang sejengkal.
Aku bangkit dan kudekati si makhluk asing, tapi kaca tempatnya bernaung tiba-tiba menjauh, lari tunggang-langgang dari dinding kamarku. "Tunggu, tunggu!" teriakku putus asa. Ia membentur meja, kursi, dan lemari sampai gaduh seolah meminta pertolongan dari benda-benda mati dalam kamarku. "Tunggu, tunggu!" teriakku lagi. Lalu ia berbisik, "Tolong, tolong," dengan lemah dan penuh pesakitan. Sesuatu dalam rongga dadanya telah direnggut dan aku tidak tahu siapa pelakunya.
Ia diam sejenak dalam kaca yang berantakan. Aku cepat-cepat berlari ke meja-meja, lemari, dan brankas, mencari-cari yang telah direnggut dari rongga dadanya. Kurasa itu putih, bercahaya, halus, dan tidak mudah padam. Perhiasanku dalam laci tidak putih, pakaianku dalam lemari tidak bercahaya, dan uang-uangku dalam brankas tidak dapat mengisi rongga dalam dadanya. Aku telah gagal menolong makhluk berantakan dalam kaca kamarku. Tapi ia berbisik, "Tidak apa-apa, aku tahu kamu tidak bisa menemukannya."
Aku tidak ingin pusing memikirkan sesuatu yang telah direnggut dari rongga dadanya. Jadi kumatikan lampu kamar dan kututup gorden yang tersibak. Kutarik selimut hingga menutupi kepala dan sekali lagi aku jatuh tertidur. Mungkin aku akan bangun pukul empat, dan saat itu makhluk dalam kaca kamarku telah pergi. entah menuju ke mana, mungkin kembali ke rumah atau berkunjung ke Fjura dan memesan sekuntum seruni putih dalam peti mati.
Aku bangun pukul tiga di hari yang berbeda. Kudapati tubuhku kaku dalam balutan pakaian putih dan bunga-bunga matahari. Orang-orang lalu lalang dalam ruang yang besar dan sempit untukku. Mereka menangis sesengukan supaya aku bangun dari tidur. Adik perempuanku yang tidak manis merong-rong bersama orang-orang tua. Lalu mereka berbisik-bisik seolah menghujaniku dengan opini-opini berkedok fakta. Berisik sekali, sungguh berisik, padahal aku sedang berusaha bicara dengan Tuhan yang keluar dari ubun-ubun mereka.
Aku berteriak-teriak seperti orang bodoh yang dirasuki iblis, bicara melantur dan terbata-bata. "Apa ... yang ... te-telah ... direng-gut ... dari ... rongga dadanya ... wahai Tu-han?" Tapi Tuhan mereka tidak menjawab—mungkin bisu dan tuli di saat yang bersamaan. Jadi aku pasrah saja, melayang-layang di atas pusara menuju ketiadaan, menanti kasih sayang dalam rongga dadaku meredup.
Pandu
30 Januari 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Rongga Dadanya
PoetrySesuatu dalam rongga dadanya telah direnggut dan aku tidak tahu siapa pelakunya. Pandu