Chapter 1 : Osomatsu's Journey

65 9 0
                                    

"Sedari dulu Dewa telah memberi kita kekayaan alam yang melimpah agar kita bisa menikmatinya. Tanah di desa ini luas dan subur, air di desa ini melimpah dengan air sungai yang bersih dan tak pernah kering. Sebagai balasan atas kenikmatan yang telah diberi Dewa, kita para penduduk desa telah berjanji akan menyatu dengan alam desa ini setelah tujuh belas tahun lamanya kita menikmatinya. Tubuh kita memang akan dikubur di tanah suci ini, tapi kita akan terlahir kembali sebagai tumbuhan, sebagai bagian dari alam desa ini."

"Dua puluh tahun yang lalu Matsuzou jatuh cinta dengan Matsuyo, penduduk desa ini, Desa Hedge, dan menikah dengannya. Bukti dari cinta Matsuzou kepada Matsuyo adalah ia bersedia menemani Matsuyo untuk tinggal di d dan mengikat janji suci dengan Dewa. Mereka memang hanya bisa menikmati masa mereka sebagai pasangan selama dua tahun, karena Matsuyo meninggal delapan belas tahun yang lalu dan tumbuh kembali menjadi semanggi berkelopak enam. Namun akhirnya, hari ini Matsuzou bisa bertemu kembali dengan istri tercintanya di alam ini. Kita hanya bisa menunggu Matsuzou akan terlahir kembali menjadi tumbuhan apa. Sekarang mari kita berdoa atas kebahagiaan Matsuzou menyatu dengan alam."

Semua orang menundukkan kepalanya dan berdoa dalam hati. "Berdoa selesai." Satu persatu para penduduk yang menghadiri pemakaman Matsuzou pergi. Tak lama, hanya tinggal seorang pemuda dengan jas dan celana hitam yang belum meninggalkan pemakaman. Pemuda itu yang sedari tadi berdiri kini duduk di atas tanah.

"Ayah." panggil Osomatsu. "Terima kasih sudah berjuang melawan penyakitmu selama setahun ini. Aku harap kini ayah senang karena dapat beristirahat di sebelah ibu." Osomatsu melirik sederetan daun semanggi berkelopak enam di atas tanah yang terletak di sebelah makam Matsuzou. "Aku memang belum pernah bertemu dengan ibu, tapi aku harap ibu senang bisa bertemu dengan ayah."

"Osomatsu." Osomatsu menoleh ke belakang setelah mendengar suara yang ia kenal memanggilnya. Osomatsu melihat seorang gadis dengan rambut diikat menjadi dua, dan memakai baju terusan berwarna biru.

Osomatsu tersenyum saat mengenali siapa orang yang memanggilnya "Totoko." Osomatsu berjalan menghampiri Totoko. "Kau sudah pulang?"

"Aku mendengar berita tentang ayahmu, jadi aku datang kemari semalam. Nanti malam aku akan kembali ke kota."

"Benarkah? sayang sekali kau tidak menginap di rumah orang tuamu dulu."

"Kau tahu aku paling tidak suka tinggal di desa ini." Osomatsu hanya bisa tersenyum mendengarnya.

Totoko Yowai adalah teman Osomatsu saat Osomatsu masih kecil. Umurnya hanya beda setahun lebih muda dari Osomatsu, membuat mereka cepat akrab. Setahun yang lalu Totoko memutuskan untuk pindah ke desa lain karena menurutnya aturan 'tujuh belas tahun menikmati kekayaan alam ini dengan cara tinggal di desa ini maka harus membayarnya dengan meninggal di desa ini dan terlahir kembali menjadi tumbuhan' adalah kutukan bagi Totoko. Saat Totoko berulang tahun yang keenam belas, Totoko memutuskan untuk pindah ke kota agar tidak terikat janji suci dengan Dewa desa ini. Totoko juga mengajak Osomatsu karena saat itu Osomatsu belum genap berumur tujuh belas tahun, namun Osomatsu menolaknya. Ia ingin mengikat janji suci dengan Dewa desa ini, ia ingin bisa berada di sisi ayah dan ibunya.

"Apa rencanamu sekarang?" pertanyaan Totoko membuyarkan lamunan Osomatsu.

"Aku... mungkin akan pergi. Kau tahu sedari dulu Ayah selalu bercerita mengenai impiannya berkumpul bersama keluarganya. Aku akan mewujudkan impian ayahku, meski ayahku sudah tiada. Aku akan mempertemukan adik-adikku dengan kedua orang tua kandung mereka." Osomatsu tersenyum saat menjawab pertanyaan Totoko. Senyuman sedih yang terlihat jelas di wajah Osomatsu.

"Kau belum siap bertemu mereka."

"Tak akan pernah siap, Totoko." kini Osomatsu menatap wajah Totoko. "Selama delapan belas tahun Ayah selalu mengajariku bagaimana caranya agar menjadi kakak yang baik, kakak yang bertanggung jawab. Selama delapan belas tahun ini pula Ayah melarangku berbicara dengan adik-adikku. Aku hanya bisa melihat Ayah berbicara dengan mereka. Bagaimana jika ternyata Ayah tidak melarangku, melainkan karena adik-adikku tidak mau berbicara denganku? bagaimana jika mereka tidak menerimaku sebagai kakak mereka karena hanya aku yang dapat tinggal bersama Ayah dan Ibu, meski Ibu kini menjadi daun semanggi? Bagaimana, Totoko?"

CloverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang