Bagian 1

50 9 0
                                    

Linear

Seperti biasa, rutinitas sehari-hari aku sejak 5 tahun yang lalu itu aku habiskan di sekolah. Iya, benar, mengajar. Aku mengajar di SMA Kerabat Kita sebagai seorang Guru Matematika. Walaupun di Jakarta, tapi sekolah tempat aku mengajar ini letaknya agak jauh dari perkotaan. Harus masuk beberapa gang dulu. Tempatnya dekat dengan persawahan warga. Dari sekolah aku mengajar juga kalian bisa lihat bukit-bukit. Sejuk banget suasananya. Kalau lagi panas-panas terus ada angin, gila sih, segar banget. Itu salah satu alasan aku mau ngajar di sekolah yang agak jauh dari perkotaan. Perjalanan dari rumah ke sekolah memakan waktu sekitar tiga puluh menitan, itu sudah terhitung dengan macetnya Jakarta. Jadi, dari rumah aku berangkat pukul enam pagi, sampai sekolah jam setengah tujuh atau jam tujuh kurang.

Hari ini hari Jumat, setiap guru--diwajibkan yang masih muda--memakai seragam pramuka. Lengkap dengan hasduknya. Kecuali guru perempuan, mereka hanya memakai seragam pramuka saja. Entahlah, ini sudah peraturan dari sekolah setiap hari Jumat dan Sabtu memakai seragam pramuka.

Aku duduk di kursi kebesaranku. Jam baru menunjukkan pukul tujuh kurang seperempat. Itu artinya lima belas menit lagi akan masuk kelas ajar. Ruang guru juga masih sepi. Sambil menunggu masuk, aku melanjutkan menilai tugas anak didikku. Dari 35 siswa, hanya 1 orang yang mendapatkan nilai 100, yang lain do, re, mi, fa, sol semua. Aku sebagai guru yang mengajar merasa heran. Sudah dijelaskan, diberikan contoh, bahkan sempat aku tanya, "Paham apa nggak?"

Semua serentak menjawab, "Paham!"

Tapi ya ini, giliran diberi soal malah pada salah. Ini aku yang gagal mengajar murid-muridku apa bagaimana?

"Pagi, Pak Linear!"

Aku yang sedang serius memasukkan nilai mendongak, melihat siapa yang menyapa.

"Pagi juga, Bu Laras." balasku. Nggak enak kalau nggak dijawab.

Bu Laras ini salah satu guru yang suka banget dekat-dekat aku. Bukan kepedean atau bagaimana, tapi memang itu kenyataannya. Kalau kata Riemann dan Medi sih, Bu Laras tertarik denganku. Tapi ya begitu, aku malah risi dipepet-pepet sama perempuan. Bukan gimana-gimana, aku normal, sangat normal. Tapi kalau ada perempuan yang kegenitan begitu ya jadi ilfeel sendiri. Iya nggak sih? Iyalah!

Wajah boleh cantik MasyaAllah. Tapi kalau sikapnya Astaghfirullah ya percuma dong.

Seperti sekarang, Bu Laras memulai aksinya. Duduk di sebelahku, yang seharusnya diduduki oleh Riemann tapi anak itu belum datang juga. Berharap dia cepat datang. Nggak enak banget. Apalagi sudah banyak guru yang sudah datang. Tidak mungkin tidak melihat kami berdua kan?

"Lagi ngapain, sih, Pak?" dia bertanya sambil melongokkan kepalanya menilik apa yang sedang aku kerjakan.

"Lagi memasukkan nilai, Bu."

"Boleh Saya bantu?"

Dia sudah akan mengambil alih pekerjaan aku, tapi segera aku tolak. "Saya bisa sendiri, Bu. Lebih baik Bu Laras menyiapkan materi, sebentar lagi masuk kelas. Saya juga mau siap-siap."

Raut wajahnya terlihat sedikit kesal mendengar ucapanku. Tapi dia tetap beranjak menuju kursinya.

Tidak lama kemudian bel masuk kelas berbunyi. Saat itu juga Riemann datang dengan jaket yang masih terpasang ditubuhnya.

"Telat amat datangnya." kataku pelan setelah dia duduk disebelahku.

Riemann tersenyum. Sepertinya dia tahu maksud dari ucapanku. "Udah, sih. Nikmatin aja." lalu dia nyengir lebar yang saat itu juga ingin aku lempar dengan buku absensi yang sedang aku pegang.

***

Aku, Riemann dan Medi sedang makan di kantin belakang, kantin langganan kami. Walaupun ramai, kami bertiga tetap disitu, karena Ibu Kantin, Bi Darti, sudah menyiapkan tempat khusus untuk kami bertiga.

Seperti biasa aku memesan soto dan teh hangat. Gila, sih. Enak banget sotonya Bi Darti ini. Bikin nagih.

"Bu Laras kayaknya masih gencar aja deketin lo, Ar." Itu suara Medi, sahabat gue, guru Sejarah. Yang kerjaannya mengungkit-ungkit masa lalu.

Jadi, kami ini kalau lagi bertiga kayak gini ngomongnya. Pakai "lo-gue", biar enak ngobrolnya.

"Ya gitu lah, Di, nasib orang ganteng ya gini. Dikejar-kejar perempuan." Kataku sambil tertawa lebar. Percaya diri sekali. Tapi jujur, aku nggak suka dikejar-kejar perempuan. Geli.

"Kenapa nggak lo coba respon aja, Ar, kali aja cocok." Riemann menimpali. Laki-laki berambut ikal itu ngomong dengan santainya. Tanpa beban.

Aku mengambil satu mendoan, "Makasih, buat lo aja, gue ikhlas." lalu mendoan itu mendarat di mulutku. Habis dalam satu gigitan.

"Eh, tapi Bu Laras cantik lho, Ar. Putih, tinggi, bodygoals njir. Kenapa nggak tertarik?" tanya Medi. Kini, laki-laki itu menatapku penasaran. Menunggu jawaban yang akan keluar dari mulutku.

Apa yang dikatakan Medi tentang Bu Laras benar. Cantik, putih, tinggi. Bodygoals pokoknya. Tapi aku memang tertarik. Apalagi Bu Laras nggak cuma nemplok di aku. Kadang Riemann sama Medi juga dia templokin. Nanti kalau aku muncul di depan mereka, mencloknya pindah. Udah kaya laler aja nggak sih. Intinya aku kurang suka perempuan model Bu Laras. Katakanlah aku pemilih dalam urusan perempuan. Oke, itu memang benar.

"Nggak tahu, nggak suka aja lihatnya." Aku meminum teh hangatku, makan mendoan satu aja minyaknya nempel terus di tenggorokan. "Jangan-jangan lo lagi yang tertarik." Aku melanjutkan perkataanku, melayangkan senyuman usil ke Medi.

"Gue udah punya keleus."

"Kali aja mau nambah, buat cadangan."

"Enak aja. Gue setia orangnya."

Riemann berdecak. "Omong kosong!"

Sementara aku tertawa Menyaksikan kekonyolan dua sahabatku itu. Mereka kalau sudah begini memang suka nggak imgat umur. Profesi saja guru, kelakuan masih astagfirullah.

"Sudah bel, woy. Masuk kantor, yuk. Sebelum kena omel senior. Gampang ntar lanjut lagi adu mulutnya, kan pulang gasik." Tadinya nggak mau ketawa, tapi akhirnya aku malah ketawa.

Kami akhirnya memutuskan untuk kembali ke kantor. Sepanjang jalan, kami bertiga sudah seperti artis yang ditonton banyak orang. Bahkan ada siswa yang genit memanggil nama kami. Sudah biasa. Tidak mau dicap guru sombong, jadi kami mengeluarkan sedikit senyuman manisnya.
Genit nggak? Nggak ah.

***

Happy Reading!


Linear VariabelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang