Varia
Kebanyakan orang desa, terutama orang tua, kalau ada orang yang merantau ke kota itu kayak 'wah'. Padahal hidup di kota itu keras banget. Apalagi kota besar seperti Jakarta. Dulu waktu aku kecil juga menyangka seperti itu, lihat anak tetangga pulang dari perantauan duitnya banyak, bajunya bagus-bagus. Tapi sekarang aku sudah merasakan sendiri hidup di rantau orang itu enak nggak enak.
Nggak enaknya?
Jauh dari keluarga. Biasanya kumpul bersama keluarga, ada Bapak, Ibu, adik, sekarang sendirian di kontrakan. Sepi. Tidak ada yang bisa diajak ngobrol. Kalau ingat itu suka sedih pengin nangis. Biasa makan dan tidur gratis, ini harus bayar.
Enaknya?
Enaknya, jadi lebih mandiri, merasakan hidup tanpa orang lain itu susah, belajar mengatur keuangan sendiri. Pokoknya merantau bikin kita jadi mandiri.
Sebagai orang desa, merantau ke kota tentunya sebuah pengalaman baru. Di desa tidak ada gedung pencakar langit, hotel, apartement, jalan besar, yang ada hanya rumah-rumah milik warga yang biasa saja. Di desa tidak ada restoran, taman bermain, mal atau apapun itu, yang ada hanya kebun, sawah, perbukitan dan waduk buatan warga. Tapi cuaca di desa lebih baik daripada di sini. Di desa sejuk, nggak panas kayak di sini.Aku sudah merantau di Jakarta kurang lebih lima tahun. Dari umur 20 sampai sekarang mau umur 25. Betah banget? Dibetah-betah sebenernya.
Aku kerja di salah satu Supermarket sebagai kasir. Kasir yang kata orang-orang kerjanya enak, duduk-duduk doang. Yang bilang enak, sini deh coba gantiin aku sebulan aja, kamu akan merasakan tidak enaknya menjadi kasir. Duduk terus itu tidak enak, bokong berasa tepos, badan bungkuk dan kaku kelamaan nunduk. Belum lagi kalau ada pelanggan yang marah-marah ke kami. Mau balik marah tapi tidak bisa, takut dipecat. Tapi semua rasa dongkol, bokong tepos, pegel dan kaku, akan hilang kalau sudah ingat gajian. The power of money. Hehe.
Jaman sekarang kalau tidak punya uang itu direndahkan harga dirinya. Tidak dipedulikan oleh sekitar. Kenapa aku bilang begitu? Karena aku sudah pernah merasakan di desa. Itu salah satu alasan aku keluar dari zona nyaman, memberanikan diri pergi ke kota sendirian. Sebelumnya Bapak sama Ibu sempat melarang, tapi aku berhasil membujuk mereka dan akhirnya, ya, aku sampai di sini dan bertahan sampai hampir lima tahun.
Ini hari Jumat, seperti biasa di hari yang kata orang-orang hari berkah ini banyak pelanggan keliaran di Supermarket. Padahal ini sudah siang.
Bayangkan, ini jam dua siang, Supermarket ramai, banyak anak kecil, ada yang nangis, ada yang lari-larian, jalan di depan macet, bunyi klakson bikin telinga mau pecah, ditambah cuaca Jakarta yang panasnya naudzubilah. Demi apapun rasanya tidak karu-karuan banget. Mau pingsan saja rasanya aku. Kalau aku sendiri, jam-jam segitu mendingan buat tidur di rumah, leyeh-leyeh, rebahan, bukannya keliaran di Supermarket kayak gini. Oke, itu hak orang mau ngapain saja.
Di depan meja kasirku ada ibu-ibu dengan belanjaannya yang se-troli. Badannya gemuk, dilihatnya kayak sesak banget. Perutku langsung bergejolak. Maaf sebelumnya, aku kalau lihat orang gemuk terus kepanasan terus keringetan gitu suka gimana ya, ya begitulah. Maaf banget.
"Cepetan ya, Mbak, ini suami saya lagi nungguin di depan, kasian lama." katanya.
Tuh 'kan. Itu salah satu nggak enaknya jasi kasir.
"Sebentar ya, Bu. Ini saya harus teliti soalnya, biar nggak dimarahin boss." Aku berusaha tersenyum ramah.
Aku sudah berusaha cepet. Tapi tetap harus teliti, kalau ada kesalahan nanti aku juga yang rugi.Aku mengasiri sementara Vusi--teman satu meja kasirku--memasukkan barang belanjaan yang sudah terdaftar di layar monitor ke dalam plastik.
Si Ibu kayaknya gusar banget. Lagi-lagi mendengus, lihat jam tangan. Bikin aku nggak enak saja.
"Ini, Bu, kembaliannya. Terimakasih."
Aku menyerahkan uang kembalian, permen dan struk belanjaan. Si Ibu tidak segera mengambil.
"Saya nggak mau ya, kembalian pake permen. Uang aja."
Sumpah aku malu banget. Segera aku mengganti permen dengan uang. Tidak mau membuat keributan di sini. Bisa-bisa bos besar marah.
"Terimakasih, Bu." Aku dan visi berucap tanpa dibalasnya, karena si Ibu langsung pergi begitu saja.
No problem. Sudah sering kami diperlakukan seperti itu. Kuncinya banyak-banyakin sabar aja.
Visi yang berada dibelakangku ngedumel terus nggak berhenti-henti. Bikin kepalaku puyeng.
"Udah, Vis. Lagian udah pergi juga orangnya."
"Iya tapi gue kesel, Var. Jadi orang kok gitu-gitu amat. Hiih."
Jadi begini, alasan kami memberikan kembalian permen itu biar ngitungnya nggak ribet. Seperti misal ada embel-embel 500 perak, 200 perak, itu kan susah, jadi kita kasih permen aja biar gampang. Ah sudahlah. Terserah mau paham atau tidak. Kami sih hanya mematuhi peraturan saja.
"Sabar ya, Mbak."
"Eh?!"
Aku tersentak saat seseorang mengatakan itu kepadaku. Biasanya kalau aku kena marah pelanggan tidak ada yang peduli. Segera aku menoleh ke dia. Ternyata seorang pria. Tampan. Tinggi. Putih khas orang kota. Tapi sayang, dia sudah gandeng anak kecil. Yang berarti sudah punya istri. Ehm.
"Harus sabar, Pak." kataku sambil melempar senyum kepadanya.
Pria itu meletakkan keranjang yang berisi mainan semua meja kasirku. Aku mengambilnya untuk di scan harganya ke layar monitor.
"Ini aja, Pak? Tidak ada yang lain?" tanyaku.
"Beneran kamu nggak mau es krim?"
Pria itu menunduk bertanya kepada anak kecil yang digandengnya. Anak kecil itu hanya menggeleng pelan. Gemes banget. Pengen cubit pipinya tapi nggak enak sama bapaknya.
"Iya udah itu aja, Mbak."
"Oke."
Aku menyerahkan mainan berupa robot transformers kepada Visi untuk dibungkus.
"Ini, Pak. Terimakasih sudah belanja di sini. Jangan bosen-bosen buat belanja di sini ya. Uh gemes banget sih anaknya, Pak. Jadi pengen bawa pulang deh."
Dasar Visi modus. Lihat pria tampan sedikit langsung beraksi. Apalagi kalau tampan banyak kayak dia. Anak satu itu.
Pria itu tersenyum mengucapkan terimakasih kepada kami sebelum berlalu pergi.
"Gemes anaknya apa bapaknya, Vis?" ledekku ketika pria itu sudah tidak terlihat. Gila aja ngomongin orang di depan orangnya langsung. Bunuh diri namanya.
"Dua-duanya! Tapi kayaknya gemesan bapaknya--aduh!" dia mengusap kepalanya.
Iya. Aku baru saja menjitak kepala dia yang isinya entah apaan. "Inget, dia udah punya buntut."
"Lah? Siapa tahu yang tadi bukan anaknya, Var. Orang mah positif thinking, jangan pesimis." dia berkata dengan seriusnya. Halah perempuan itu selalu serius kalau sudah berkaitan dengan laki-laki tampan, apalagi tampan dan berduit.
"Sinting!" balasku. Lalu kami berdua tertawa. Menertawai kebodohan kami yang tiada habisnya.
***
Happy Reading!
Terimakasih sudah mau membaca cerita absurd aku, hehe. Kalau boleh, jangan lupa tinggalkan jejak ya.
Tengkyuu:*
KAMU SEDANG MEMBACA
Linear Variabel
Ficción GeneralPerempuan memang banyak, bahkan lebih banyak dari laki-laki. Meski begitu tetap harus dicari yang kualitasnya baik bukan? Linear Yudhistira, seorang guru yang tak kunjung menemukan cinta. Baginya, mencari perempuan itu bagaikan mencari air di gurun...