Tidak pernah ada hal yang tidak di inginkan akan terjadi. Seperti yang Sally rasakan saat ini. Kesedihan, kesesakan, air mata dan rasa tertindas kini menerpanya.
Di balut dengan gaun indah yang sangat cantik adalah impian setiap wanita. Riasan yang mahal, sepatu yang indah, serta dandanan yang sangat luar biasa cantik. Siapa yang ingin menolaknya? Jawabannya adalah tidak ada.
Tapi Sally. Yang Sally rasakan sekarang adalah bukan bahagia melainkan kesedihan.
Dengan berani ia mengambil tindakan lari dari tempat yang ia yakini adalah sebuah salon ternama sangat lah menguras keberanian.
Disini lah Sally berada. Di rumah sakit tempat adiknya di rawat. Ia tidak sanggup jika harus melihat adiknya akan berkorban di dalam ruangan operasi itu sendirian. Ia ingin berada di situ juga. Walaupun dirinya tidak bisa masuk. Setidaknya ia bisa menunggu. Tidak akan Sally biarkan adiknya berjuang sendirian.
"Maaf. Kami harus memindahkan pasien ini ke ruangan operasi" suster masuk kedalam kamar adiknya itu dan meminta Sally untuk segera bergeser karena adiknya akan segera dioperasi.
Dengan penuh rasa getir. Sally mengangkat dirinya berdiri. Ia melihat sekali lagi kearah adiknya yang kini sudah mulai di dorong oleh beberapa suster.
"Berjuang, sayang. Kakak disini" ucapnya sembari menghapus air matanya dan ikut bergerak pergi membuntuti adiknya.
Sesaat Sally merasa risih karena tatapan aneh dari orang-orang yang ada di sekitarnya. Bagaimana tidak? Sally yang datang ke rumah sakit ini dengan air mata dan juga tampilan yang sudah mulai acak-acak kan mengundang perhatian banyak orang. Namun dengan sigap, Sally tidak menghiraukannya dan mulai mengacuhkannya. Karena yang terpenting baginya hanyalah adiknya saat ini. Ya... adiknya saja.
Sally berhenti tepat di depan ruangan operasi itu. Ia mencari-cari siapa dokter yang akan membedah adiknya.
Lama menoleh-noleh. Akhirnya Sally melihat dokter itu.
"Dokter... dokter.." ucapnya berlari kearah dokter tersebut.
"Ya?" Sapa dokter itu ramah.
"Apakah... apakah dokter yang akan mengoperasi adik saya?" Tanyanya dengan raut wajah yang serius.
"Oh, iya benar sekali. Saya, dokter Robert. Saya yang akan mengoperasi adik anda" dokter itu melihat prihatin kearah Sally. Siapapun bisa melihat dengan jelas bahwa Sally sekarang ini sangat merasa frustasi.
"Saya mohon, dok. Saya mohon selamatkan adik saya" Sally mengambil tangan dokter itu dan memohon kepadanya. Air matanya kini sudah tidak bisa ia bendung lagi. Sakit... sakit sekali yang Sally rasakan saat ini.
"Tenanglah. Kami akan berusaha dengan sebaik mungkin. Berdoa saja, karena bagaimana pun usaha yang kami lakukan. Semua keputusan hanya ada di tangan sang pembuat nyawa" dokter itu tersenyum menepuk lengan Sally yang sudah terasa sangat dingin. Ia tahu yang Sally khawatirkan saat ini. Siapapun yang berada di posisinya pasti akan merasakan hal yang sama dengan Sally.
"Saya harus masuk. Kau berdoa saja dan temani adikmu berjuang dari sini. Oke?" Ucap sang dokter itu kembali. Dan di jawab hanya dengan anggukan oleh Sally.
Sally merasa was-was saat melihag pintu ruangan operasi itu kini sudah tertutup rapat. Angin yang berhembus ikut menambah kesan kelam dalam diri Sally.
Sendiri menunggu adiknya yang berjuang adalah hal yang tak pernah Sally inginkan terjadi.
"Tuhan... adik ku itu masih terlalu kecil. Bahkan tangannya saja masih terasa sangat lembut" Sally berlutut dan menyatukan tangannya seraya memohon sambil terus menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love In Pain (TERBIT)
Romance~ Sally Widya ~ Aku tidak perlu kehidupan yang harmonis dan bahagia. Karena aku sudah yakin bahwa Tuhan tidak akan pernah memberikannya kepadaku. Tapi, setidaknya biarkanlah aku terus berada disisi mu walaupun kau sama sekali tidak menginginkan ku...