P R O L O G

13 2 0
                                    

•  •  •

Menetap di sebuah pesantren setelah kabur dari rumah dengan gaun pengantin tidak pernah terpikir oleh Khansa sebelumnya. Dua tahun lalu itu adalah sebuah kejadian mendebarkan yang sampai saat ini masih mengusik pikirannya. Entah bagaimana cara kerja otaknya saat itu sehingga keputusan ter-nekad -kabur dari rumah- terjadi.

Dan, hari ini, setelah menerima rentetan nasehat dari bu Azizah dua hari yang lalu saat ia baru mengungkapkan alasannya ingin tinggal di pesantren, ia kembali ke rumahnya. Rumah orang tuanya. Dengan segenap keberanian yang telah ia kumpulkan susah payah.

Turun dari taxi, gadis itu menggeret kopernya memasuki pekarangan rumah setelah membuka sedikit celah pada gerbang.

Rumah ini masih sama. Cat cokelat muda di bagian depan rumah masih tampak cerah. Semua tata letak pohon dan kolam ikan juga masih seperti dulu. Hanya saja, bunga mawar yang ada di dekat pohon mangga sudah tidak ada. Kemana? Ah, sepertinya ia harus bertanya hal itu pada ibunya nanti.

Tapi, sejujurnya ia masih sedikit takut. Setelah dua tahun kepergiannya pasti terdapat luka pada hati kedua orang tuanya. Hal itulah yang membuatnya takut. Takut tidak bisa mendapat maaf, takut tidak bisa menyembuhkan luka itu.

Tangannya terasa gemetar saat menekan tombol bel di samping pintu. Ia tekan bel itu sebanyak tiga kali sembari mengucap salam, kemudian punggungnya bersandar pada tembok menahan tubuh yang rasanya lemas. Ia pasrah. Apapun yang akan menjadi hukumannya nanti, akan ia terima. Karena ini memang salahnya. Pergi dari rumah di hari pernikahan, hanya mengabari lewat surat yang dikirimi satu bulan sekali. Orang tua mana yang tidak cemas?

Ia memang salah.

Seketika ia mengingat perkataan bu Azizah padanya tempo hari.

"Nak, walaupun orang tuamu marah nantinya, mereka tidak akan sampai membencimu. Rasa marah mereka itu lebih dominan karena khawatir kepada buah hati mereka. Anak yang mereka besarkan dengan susah payah." bu Azizah menatap Khansa lembut.

"Tidak ada kata terlambat untuk meminta maaf, sayang. Lakukan segera. Karena kita tidak tau sampai kapan kita bisa hidup di dunia" usapan lembut mendarat di atas kepala Khansa.

"Percaya sama Allah, ya Khansa?"

Ya, dia harus percaya. Apapun skenario yang telah Allah susun, pasti itu yang terbaik untuk kita.
Kita sebagai hamba sepatutnya bersyukur. Walau sering kali berbuat dosa, rahmat dan kasih sayang Allah selalu tercurah.

Akan ada bahagia setelah duka. Ibunya pernah berpesan seperti itu dulu.

Klek.

Pintu ber-cat coklat kayu itu terbuka dari dalam menarik lamunan Khansa. Tubuh gadis itu menegang di tempat dan langsung memutar badan 90°.

Bukan hanya tegang, jantungnya seakan turun seketika melihat siapa yang membuka pintu rumah orang tuanya.

"Wa'alaikumsalam, si-siapa ... "

Bisa dihitung kurang lebih tiga detik kedua orang itu saling menatap dan dipungkas oleh Khansa. Kepala gadis itu rasanya ingin meledak saat itu juga. Bagaimana bisa? Khansa terus merutuk tak henti-henti.

"Sasa ..."Suara berat dari seorang lelaki dihadapannya terdengar lirih.

Mata laki-laki itu membulat dengan tubuh kaku sarat akan ketidakpercayaan walaupun Khansa tidak melihatnya. Gadis itu menunduk dan merutuk dalam hati serta beberapa kali mengucap istighfar.

"Rafa ... Siapa tamu-nya nak? Suruh masuk!"teriak seseorang dari dalam rumah.

Khansa tidak mungkin lupa dengan suara lembut itu. Waktu dua tahun sama sekali tidak dapat mempengaruhi daya ingatnya. Itu suara ibu. Seseorang yang ia rindukan dengan amat. Seseorang yang ia sayangi juga dengan amat. Dan ia mungkin telah menyakitinya dengan amat sangat.

Niat ingin menengadah menahan air mata. Netra-nya malah bertubrukan dengan netra lelaki yang membukakan pintu untuknya tadi. Dapat terlihat sepertinya laki-laki itu masih belum tersadar dari keterkejutan.

Khansa menunduk kemudian berdeham.

Rafa, laki-laki itu tersadar dengan kikuk seraya berdeham pelan. Menetralkan segala rasa yang berkecamuk dipikirkannya.

"Kamu, ... Kemana selama dua tahun ini, Sa?"

Terselip rasa rindu dari suara lirih yang baru saja keluar dari bibir Rafa. Bahkan atmosfir diantara mereka terasa berbeda. Perasaan hancur, sedih, bahagia, kecewa bercampur menjadi satu dan menghimpit dada.

Kata-kata yang akan keluar dari Khansa tertelan kembali. Seseorang yang datang dari dalam rumah semakin menyetujui keinginannya tenggelam saat itu juga.

"Rafa, kenapa belum mas-suk ..."
Pada kata terakhir melirih. Bentuk rasa terkejut dari seorang ibu yang baru saja melihat putri sulungnya yang dua tahun lalu pergi.

"Khansa?!"







.  .  .

welcome to my new story

enjoy the part and see you in next chapter!

let's vomment for fast update!



05 April 2018

Distiya Rizki Maharani

RecallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang