"Seriusan ini Tanah Abang?" tanya Acha seraya matanya memandang ke arah jalan Jati Asih yang dipenuhi tenda-tenda jualan. Di trotoarnya, banyak pedagang kaki lima yang menjajakan jualannya kepada setiap orang yang lewat. Terlihat beberapa satpol PP di ujung jalan yang sedang mengamati sekitarnya.
Alif mengangguk. "Kamu nggak pernah ke sini, Cha?"
"Pernah sih dulu, pas awal-awal dateng ke Jakarta. Kalau nggak salah, baju yang kemaren aku pake juga beli di sini, Lif. Awet banget padahal murah." Mereka melanjutkan perjalanan di trotoar yang sempit. "Pas aku ke sini kayaknya nggak serame ini deh. Kok berubahnya pesat banget, ya," tambahnya.
Beberapa pedagang memanggil-manggil mereka berdua untuk membeli dagangannya. Mata Acha tidak bisa lurus ke depan karena baginya banyak sekali dagangan-dagangan yang murah dengan produk bagus. "Acha mau beli kaus kaki itu, Lif."
Kepala Alif menoleh. "Mana?" Matanya tertuju pada jari telunjuk Acha yang menunjuk lurus seorang pedagang kaus kaki bermotif macam-macam. "Yang itu? Ya udah beli, jangan banyak-banyak kecuali mau kamu jual." Acha mengangguk, langsung memilih motif yang menurutnya bagus. "Eh tapi boleh juga kalo kita jualan kaus kaki, Cha. Ya udah, beli banyak juga nggak apa-apa."
"Dasar labil!"
Acha segera memilih berpasang-pasang kaus kaki berwarna krem dengan motif berbeda. Hanya lima belas ribu rupiah untuk dua pasang. Di Bandung, satu pasang seharga sepuluh ribu, itu pun ukurannya tidak sepanjang kaus kaki yang sedang dipilihnya. Sementara Alif berjongkok di salah satu sudut dengan toko baju anak-anak. Ia mengambil sebuah kertas berisi catatan apa saja yang harus dibelinya di tempat tersebut.
Terlihat angka 975.000 di bagian tengah kertas tersebut, ditambah lingkaran merah di sekelilingnya. Ah, itu jumlah uang hasil patungan Alif dan Acha selama tiga bulan terakhir, ditambah hasil berjualan nasi kuning dan nasi goreng yang setiap pagi mereka jajakan di kampus.
Perlahan senyum Alif mengembang mengingat jika inisiatifnya untuk berjualan kerudung akhirnya disetujui oleh Acha, meskipun pada awalnya perempuan tersebut menolak mentah-mentah usulannya. Namun, berkat ilmu persuasif yang Alif kuasai, Acha pun luluh dan memilih ikut menyisihkan sedikit uang jajannya dari hasil bekerja part time di sebuah kafe.
"Alif, aku beli dua puluh pasang. Duanya nanti buat aku, ya. Aku bayar kok!" Alif mengangguk, memperhatikan Acha yang sedang mengeluarkan dompet dan membayar belanjaannya.
Cuaca sudah mulai terik, jalanan di sekitar mereka sudah mulai padat oleh para pembeli. "Udah, Cha? Yuk jalan lagi." Acha mengikuti langkah Alif yang berusaha menyelinap di antara orang-orang.
Hingga dua puluh menit berikutnya, Acha sudah menghabiskan satu gelas teh dingin yang dibelinya dari bapak-bapak yang menjual minumannya di atas nampan. Sementara Alif masih menyusuri jalan, belum berniat berhenti.
"Kita mau ke mana, sih?"
"Ya mau ke Tanah Abang, lah. Ini udah nyampe kita."
"Ih! Maksudku bukan itu. Kita mau ke toko apa dan tempatnya di mana? Dari tadi kok nggak nyampe? Kamu itu bingung, cuma ngikutin jalan, atau lupa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
CinTasbih
Spiritual"Kamu kan laki-laki, masa jualan kerudung?" "Ini namanya emansipasi." . . "Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk ora...