Dua A, alias Alif dan Acha tidak berada di ketiga tempat teraebut, melainkan di tempat yang mungkin berada di urutan paling akhir yang akan dikunjungi oleh sebagian mahasiswa, yaitu perpustakaan.
Di lantai lima, hanya ada segelintir orang yang sibuk mengetik di atas keyboard. Tidak lebih dari tujuh orang yang sedang membaca buku, sisanya hanya memanfaatkan wifi gratis.
Alif sedang sibuk menghitung di atas kalkulator, sementara Acha sibuk mengetik di laptop. "Besok jadi, Lif?"
Alif mengangguk, tangannya masih menari-nari di atas kalkulator. "Berangkat jam enam. Kalo bisa sih abis shubuh. Busnya berangkat jam 7."
"Emang harus banget, ya, belanjanya tuh ke Tanah Abang? Emang di Bandung nggak ada pabrik tekstil apa?"
"Ada. Tapi di Tanah Abang kan lebih murah. Lagian kamu nggak bosen di Bandung terus? Sekali-kali lah kita jalan-jalan ke Jakarta, nanti mampir ke Monas atau Kota Tua. Kamu belum pernah, kan?"
Tatapan Acha beralih dari layar laptop, sebuah buku yang terletak di sampingnya segera melayang ke arah Alif. "Enak aja! Dulu sebelum aku nyampe Bandung, aku ke Jakarta dulu tau! Aku udah ke Monas, ke Kota Tua, malah ke Taman Mini!"
"Ya udah, kamu suka banget deh mukul aku. Terus besok kamu mau ke mana abis kita dapetin target bahan? Dufan? Ancol? GBK? Atau Hutan Mangrove?" Laki-laki yang memiliki potongan rambut seperti anak-anak alim itu masih mengusap lengan kanannya.
"Liat besok aja."
Alif mengangguk-angguk. "Hari ini panas banget, ya. Rasanya kalo jalan dari gerbang ke gedung paling belakang bakalan pingsan di jalan deh."
"Lebay banget kamu."
"Serius. Ngomong-ngomong, kenapa, ya, setiap panas banget gini pasti kebanyakan orang bakal anggap nantinya itu hujan, hujan deres malah," ujar Alif sambil memandangi langit dari dalam perpustakaan. Dinding transparan membuatnya bisa mengamati keadaan di luar. "Cha, jawab dong!"
"Diem bisa nggak? Aku lagi ngerjain paper Pak Basuki nih!"
"Tinggal jawab aja. Kamu kan pas SMA anak IPS, pasti diajarin kan di pelajaran Geografi?"
Samar-samar Acha mengangguk. "Tapi lupa. Kamu cari aja jawabannya sendiri, wifi kenceng, kan?"
Alif hanya mendengus, tidak puas dengan jawaban Acha yang bahkan tidak sedikit pun menjawab pertanyaannya.
***
"Cha, besok jam 6 di terminal, ya! Awas kalo telat!" seru Alif dari atas motornya yang diberi nama Hello.
Acha hanya mengangguk saja, ia sudah masuk ke dalam angkot yang dengan setia parkir di depan gerbang keluar, menunggu angkotnya dipenuhi mahasiswa yang hendak pulang.
Langit sudah berubah menjadi cukup gelap, sebentar lagi pasti hujan akan turun. Alif segera mengendarai motornya, tidak ingin harus hujan-hujanan. Beberapa pengendara pun banyak yang memacu motornya dengan cepat. Lagipula siapa yang dengan ikhlas harus terkena hujan yang sebentar lagi akan turun? Kecuali orang tersebut sedang patah hati, dan ingin menangis di bawah hujan agar tidak ada yang melihat dan mendengarnya?
Halah, basi!
Tepat hujan turun dengan tidak berperikemanusiaannya, Alif tiba di parkiran indekosnya. Napasnya tersengal akibat sedikit ugal-ugalan di jalan. Ia berjalan santai menuju kamarnya dan mendapati teman sekamarnya sedang bermain PS.
"Untung nggak kehujanan, Lif!" ujar Hanif dengan intonasi tinggi, bawaan game perang yang membuatnya naik pitam.
Alif melihat ke arah jam. Sudah pukul setengah enam sore. Ia bergegas merapihkan tas dan segera mandi sebelum adzan maghrib berkumandang dengan nyaring.
"Malem mau makan sama apa, Lif?" Kali ini intonasi Hanif sudah tidak terlalu tinggi.
"Mau traktir?"
"Heh, ya nggak lah!"
"Kirain."
"Serius!" ujar Hanif dengan suara yang kembali tinggi. "Delivery aja yuk. Tadi gue dapet SMS promo dari Dominos."
"Promo apa?" Alif mulai tertarik jika mendengar kata promo. Tadinya ia tidak mau menghamburkan uang hanya untuk memesan makanan cepat saji, tapi demi mendengar diskon, ia akhirnya mendengarkan Hanif.
"Beli dua pizza cuma tiga puluh ribu. Ukurannya dua kali magic com. Mau?"
Dua menit menimbang, Alif memiliki jawaban terbaik. "Cuma tiga puluh ribu? Lo yang beliin mau nggak? Mumpung diskon, kan?" Dan sebungkus kacang pilus langsung melayang ke kepala Alif.
Sepuluh menit kemudian, kumandang adzan terdengar. Alif yang sudah wudhu bergegas memakai peci. "Nif, udah adzan tuh, matiin PSnya. Sepuluh menit lagi iqamah, ayo ke masjid, nanti ketinggalan jama'ah."
"Gue shalat di sini aja, Lif. Ini tanggung banget lagian, kalo dimatiin nanti harus ngulang jauh. Lo aja deh yang ke masjid, gue absen dulu," balas Hanif yang matanya masih fokus ke layar laptop. Tangannya sangat fokus menekan-nekan berbagai tombol di atas stick PS.
"Emang kapan lo ke masjid, pake segala absen?"
"Pas lebaran." Alif mendengus kencang, segera berjalan ke luar kamar menuju masjid.
Lepas jama'ah maghrib, seperti biasa, Alif tidak langsung kembali ke kamar kostnya. Melainkan menetap di dalam masjid sambil membaca Al-Qur'an yang diselingi dengan muraja'ah.
Menyenangkan rasanya bisa berduaan dengan buku panduan hidup umat manusia setelah seharian lelah beraktivitas di kampus. Semua rasa penat bagaikan luruh ketika mulut melantunkan ayat-ayat suci Allah.
Hingga kumandang adzan Isya terdengar, Alif menutup Al-Quran kecilnya yang berwarna hitam bercorak emas. Ia kembali mengambil wudhu meskipun belum batal. Lalu melaksanakan shalat rawatib qabliyah isya. Di dalam sujudnya, ia memohon do'a agar imannya dikuatkan dan agar selalu diistiqamahkan dalam kebaikan. Tak lupa, Alif mendoakan teman satu kamarnya agar lebih taat dalam beribadah.
KAMU SEDANG MEMBACA
CinTasbih
Espiritual"Kamu kan laki-laki, masa jualan kerudung?" "Ini namanya emansipasi." . . "Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk ora...