Part 3

52 2 0
                                    

Djisa POV

''Kalau memang tidak niat untuk minum, tidak usah beli'' Azzura menggerutu, melihatku sedari tadi mengacak -ngacak coffee latte ku. Kuaduk- aduk dengan sendok bahkan sampai aku tidak selera untuk melihatnya apalagi meneguknya. Sementara dia masih sibuk menyendok strawberry ice cream. Bibirnya belepotan.

''Ahh nanti aku minum kok'' sahutku dengan malas.

''Kau ada masalah ya?''

Azzura terlalu to the point, actually.

''Hmm, kita bukan sobatan baru sebulan dua bulan, Djisa. Aku tau ada apa denganmu, aku tau kau tidak biasa''

''Yah, sepertinya itu benar. Tapi lupakan saja Azzura, aku baik - baik saja kok''

Azzura hanya mengedikkan bahu lalu lekas menghabiskan ice creamnya. Siang ini memang panas sekali dan kita butuh penyegar yang ampuh. "Oh ya, ngomong soal guru barumu itu, bagaimana?"

''Bagaimana apanya?" aku bertanya balik, sambil menatap ke bibirnya.

''Maksudku kau cocok tidak dengan gaya mengajarnya?"

''Entahlah Az, tidak usah bicarakan hal itu karena...''

kalimatku terputus. Ya, bang Ferdie lewat di depan kursi kami, mungkin dia ingin beli minum juga. Dia menatapku sebentar dan aku juga menatap matanya.

Kenapa suasana harus begini?

''Eh Djisa. Jangan lupa besok'' katanya singkat, lalu berlalu ke meja ujung. Dia pasti sendirian saja, siapa suruh menjadi orang angkuh seperti itu.

''Itu.. itu gurumu?'' tanya Azzura gelagapan.

''Iya benar. Mengapa? Dia angkuh bukan? Menyebalkan''

''Huff, Djisa.. dia tidak jelek - jelek amat lho. Lihat tuh gayanya maskulin''

''Untukmu saja, Az. Aku tidak selera dengan dia.''

Oh Tuhan, mengapa Djisa jadi seorang pembohong seperti ini?

''Yah, jangan - jangan kau jadi bete begini karena guru barumu itu angkuh ya? padahal kau menyukainya?"

Ha! Pas sekali. Memang itu perasaanku. Ferdie memang sangat manis dan aku kagum padanya. Tapi bisakah dia lebih peka terhadap perasaanku?

''Tuhkan'' Azzura menjentikkan jarinya di depanku. ''Kau melamun lagi'' Azzura lalu mengalihkan pandangannya ke sudut ruangan kafe.

''Dia baru saja melihat ke arahmu, Djisa.'' ucapnya serius.

''Dia melihat dengan matanya sendiri. Terserah dia mau melihat kemanapun'' komentarku dengan sinis. Aku berusaha menutupi perasaan terdalamku itu,  karena tak ada gunanya bila kubiarkan terbaca. Alih - alih orang memandangku kasihan karena cintaku bertepuk sebelah tangan.

Azzura menghela napasnya dan mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kafe. Si senior angkuh itu juga seringkali ditatapnya.

Ferdie's POV

Gadis manis itu terlihat bete saat aku memandangnya dari jauh. Dia duduk berhadapan dengan gadis oriental yang sepertinya karibnya - dan mengaduk secangkir minuman. Aku ingin menghampirinya dan mengucapkan hai, tapi sisi hatiku yang lain melarang hal itu.

Keinginanku untuk melihat sedang apa dia mengalahkan semuanya, kuputuskan untuk mengikuti jejaknya ke kafe itu. Ya setidaknya memesan segelas ice cream untuk menghapus hawa panas yang membakar rongga dadaku siang ini. Kubuka pintu cafe full ac yang ramai oleh siswa sekolah di jam makan siang ini, dan berusaha menemukan gadisku itu.

Aku hampir putus asa karena tidak kunjung menemukan tanda - tanda gadis itu didalam, kupikir ia telah pergi dari pintu belakang tanpa kusadari. Setelah memusingkan diri dengan mengedarkan langkah ke seluruh bagian cafe ini, mataku tertumbuk pada sebuah pita mawar merah muda yang menggelung rambut ikal berwarna cokelat pekat.

Itu dia, Djisa Roseine yang membuat seorang Ferdie menjadi gila dalam setengah hari. Aku ingin menghampiri mejanya, tapi aku tak punya alasan untuk itu.

Aha!

"Hei Djisa, jangan lupa besok'' ucapku dengan susah payah sewaktu aku telah mantap berdiri di depan Djisa. Dia tampak kaget dengan kehadiranku, begitu pula dengan gadis oriental yang ada di hadapannya.

''Oke bang'' sahutnya dengan tersenyum kecil. Betapa bahagianya aku meski kutahu senyuman itu terpaksa. Dia menatap mataku dengan tatapan lembut, tapi sekali lagi itu rekayasa.

Aku menangkap sinyal pengusiran dari hati kecilnya.

Jadi aku melangkah lagi ke ujung cafe, dekat jendela dimana kursi couple itu kosong. Saat waitress memberikan menu, aku bahkan bingung ingin pesan apa karena tenggorokanku mendadak tidak ingin apapun.

''Ehm, segelas lemon tea.'' ucapku dengan cepat tanpa menoleh ke arah wanita yang tampaknya dua tahun lebih tua dariku. Dia masih mematung disana, - tepatnya didepanku - seakan memperhatikanku begitu detail.

''Ada apa lagi?" kataku dengan galak, siapa suruh dia tetap disitu memperhatikanku seakan mengajakku kencan.

''Tidak ada pesanan lain? kami ada menu makanan baru yaitu...''

ucapannya terputus oleh bentakanku ''Hei, anda mau membuatkan pesanan saya tidak?"

Ia gelagapan,  senyumnya yang berusaha menggodaku itu berganti dengan wajah pucat. Kasihan. Ia pun langsung enyah dari pandanganku, memasuki open kitchen dan sibuk dengan pekerjaannya.

Aku terduduk, waktu berputar sangat lambat. Gadis itu tetap ditempatnya, berbincang dengan karibnya. Terlihat dari belakang Djisa sedang bertopang dagu, sesekali membetulkan gelungan rambutnya.

terus - terusan aku memperhatikan gadisku yang cantik itu, entah kenapa hatiku begitu peduli pada dirinya. Aku seharusnya tidak seperti ini. Harusnya aku tidak memperhatikan siapa - siapa. Tapi mataku berulah. Pandanganku tidak bisa lepas dari Djisa. Sayangnya, hari ini dia sepertinya mendung. Padahal aku ingin melihat senyum cantik dan pipi meronanya.!

Gadis cerdas itu bahkan tidak menoleh ke belakang sama sekali. Aku dibelakangmu, manis! Malah temannya yang mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut cafe. Dan menemukanku. Sedang menikmati keanggunan sahabatnya.

Tidak. Aku ketahuan tengah memperhatikannya. Dari bahasa tubuhnya, dia memberi tahu Djisa perihal diriku yang sedang  memperhatikannya. Dalam pikiranku, kuingin sekali Djisa menoleh ke arahku dan memberiku sedikit senyum, walau terpaksa seperti tadi.

Tapi kenyataannya, gadis itu tidak peduli. Melirik pun tidak.

In Love AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang