A

8 1 0
                                    

Jangan tanya
Kenapa aku
Pergi
Itu semua
Terjadi
Karena kamu
Pergi
-Ai

:

Aira Rachela, gadis dengan perawakan tinggi ini sering dipanggil Aira oleh keluarga. Sifat cuek dan sinisnya selalu melekat pada dirinya, membuat orang-orang takut akan mendekat.

Siapa tidak mengenal Aira? Mungkin orang tidak mengenal dengan sebutan nama itu. Tapi kalau dengan Ai? Orang akan mengenalnya, perempuan yang memiliki mata membunuh.

Aira dipaksa harus pindah ke Ibukota oleh orangtuanya, karena orangtuanya akan bekerja di luar negeri. Karena Aira tidak mau memilih ikut untuk pindah, terpaksa dia meminta kepada orangtuanya untuk pindah ke ibukota, di mana keluarga Aira banyak tinggal di sana.

"Aira?" Tante Caca memanggil Aira dari balik pintu kamar barunya. Aira membuka pintunya, bentukan dari formalitas." Tante harus keluar kota dulu sayang, nanti pergi sekolah sama Sean, ya!" Aira mengangguk.

Satu yang harus diketahui tentang Aira, yaitu hanya dekat dengan satu sepupunya saja, Sean Renolda. Aira mensyukuri akan itu.

Setelah kepergian tante Caca, Aira masuk ke kamar lagi. Kalau Aira di kotanya dulu, pasti dia akan menghabiskan waktu di tempat tongkrongannya. Itu adalah kewajiban yang harus Aira jalani tiap harinya.

"Ai?" Tiba-tiba suara Sean terdengar, Aira keluar lagi menemui Sean. "Hm." Desis Aira.

"Gue keluar bentar, lo mau apa? Maksudnya ada titipan gak?" Tanya Sean kepada Aira. Aira menggeleng.

"Pulang cepat!" Perintah Aira.

"Ternyata lo masih sama ya!" Aira tidak memperdulikan itu, dia hanya menhentakkan pundaknya saja lalu pergi dari sana.

Kalau masalah kesendirian, Aira sangat menyukai itu. Dan itupun karena terbiasa. Terbiasa ditinggal oleh orangtuanya dan mencari kesibukan sendiri.

Jam menunjukkan pukul 09.20 malam, Sean baru saja pergi setengah jam lalu. Tapi, tidak tau kenapa perasaan Aira tidak enak dan pikirannya melayang ke mana-mana.

Dia pergi ke dapur untuk mengambil minum. Aira tidak sendirian di rumah, masih ada asisten rumah tangga, supir dan satpam, sehingga Aira tidak perlu merasa takut.

"Non Aira?" Aira menoleh ke arah bi Sasi. "Mau makan?" Aira menggeleng pelan, lalu meminum secangkir air putih biasa.

Aira pergi ke taman belakang rumah, di sana cukup terang, tenang, dan sejuk. Namun, perasaannya semakin tidak enak. Aira menggenggam erat pegangan kursi taman.

Lalu, mengelurkan ponsel untuk menelepon temannya yang ada di Bandung, kota yang lama Aira tempati.

"Ai?"

"Hm."

"Kenapa? Ada masalah?" Tanya orang diseberang sana.

"Gue merasa tidak tenang. Gak ada apa-apakan?" Tanya Aira tenang.

"Gak kok. Em, Alan ngecariin lo, Ai!" Kata orang itu. Aira hanya tersenyum hambar mendengar nama itu.

"Gue tutup!" Aira langsung memutuskan sambungan teleponnya. Aira menghadap ke arah belakang, tepat di pintu yang menghubungkan taman belakang dengan dapur.

"Non, di luar dingin." Kata bi Sasi dengan ramah.

Aira beranjak dari tempat ke arah bi Sasi. "Sean?" Bi Sasi menaikkan alisnya, tidak mengerti. "Jam pulang?"

"Gak tau, non. Biasanya pulang jam sebelas gitu. Kenapa ya, non?" Aira menggeleng. "Makasih." Singkat Aira lalu pergi dari sana.

Dret. Dret.

ABOUTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang