Laida dan Yaka itu kembar gagal. Yaka lahir lebih cepat beberapa hari, disusul oleh Laida. Rumah mereka berdekatan, sekolah dengan tahun angkatan yang sama dan di gedung yang sama. Setiap hari mereka bertemu, menjalin hubungan super lekat. Levelnya, sudah jauh di atas status sahabat. Kalau bicara soal cinta, mereka juga merasakannya. Tapi, tidak untuk hasrat saling memiliki walau waktu kecil Yaka sempat berjanji akan menikahi Laida kalau sudah besar nanti.
Menginjak usia 18, Laida mulai sadar kalau Yaka adalah satu-satunya lelaki yang tidak pernah melukai hatinya, selalu ada untuknya, juga mengerti dia apa adanya. Tapi, kesibukan sebagai mahasiswa baru membuat mereka berdua sama-sama tenggelam dalam dunianya sendiri.
Hingga suatu hari, Laida mengabaikan panggilan telepon dari Yaka karena sibuk mengerjakan tugas. Laida pikir, itu telepon biasa. Tapi, setelah panggilan yang kesekian, Laida mulai bereaksi.
"To-to-tolongin gu-gue, Lai ...."
"Ka, lo kenapa, Ka? Lo dimana?" Laida berdiri panik, berlari ke arah jendela dan menatap rumah Yaka di seberang jalan sana.
Panggilan terputus. Laida kalang kabut dan berlari begitu cepat. Rumah Yaka tampak sepi. Ayah Yaka kerja di Dinas Pendapatan Daerah, kerjaannya kunjungan dinas dan pergi ke luar kota. Sementara ibu Yaka adalah pengusaha mukena, kalau tidak ada di rumah, itu tandanya beliau sedang pergi ke toko atau malah sedang ke luar kota untuk membangun rekanan.
Laida sempat tertahan di depan pintu depan karena terkunci. Tapi ia segera berputar, masuk lewat pintu samping. Benar saja, pintu itu terbuka hanya dengan sekali dorong. Rumah Yaka sangat sepi. Saat Laida berlari menuju arah tangga, di sanalah langkahnya terhenti dengan tubuh gemetar.
"YAKA!"
Yaka tergeletak di lantai dengan kepala berdarah-darah. Tangan kanannya yang lunglai masih memegang ponsel. Laida segera mendekat, menatap Yaka yang masih setengah sadar walau darah sudah menggenang begitu banyak di lantai.
"Yaka, bangun, jangan tidur!"
"Lai ...."
"Lo harus kuat, gue bakal bantuin lo, Ka. Jangan tutup mata lo, ok?" Laida mengambil ponsel Yaka, lalu bergegas menelpon ambulans sambil mencari kain apa saja yang bisa ia gunakan untuk menahan pendarahan di kepala Yaka.
Setelah itu, Laida juga menelpon semua orang. Orang tua Yaka, juga orang tuanya sendiri.
"Lai," panggil Yaka lirih. Matanya yang setengah terbuka menatap Laida yang menangis di sampingnya. "Jangan nangis."
"Lo yang bikin gue nangis!"
"Maafin gue, ya, Lai." Yaka tersenyum lagi memejamkan matanya agak lama hingga teriakan Laida terdengar dengan begitu frustasi.
"Jangan tutup mata lo, Nayaka!"
Yaka terlihat menghela napas. Lalu membuka matanya lagi. "Gu-gue jatuh, Lai. Tadi gue sakit."
Kali ini Laida yang menghela napas. Ia paham maksud Yaka. Hari itu, Yaka sedang sakit, di rumah sendirian, lalu jatuh saat ingin turun ke lantai satu. Yang terparah dari itu semua, Laida seharian itu berada di rumah dan tidak ada di saat Yaka membutuhkan kehadirannya. "Maafin gue, Ka. Maafin gue. Gue seharusnya ada di sisi lo. Gue seharusnya ada buat lo sama seperti lo yang selalu ada buat gue."
"Lai, gue yang minta maaf."
"Minta maaf buat apa? Gue yang salah, Yaka."
KAMU SEDANG MEMBACA
FAIRY INSIDER ✔
Short StoryLaida bermain begitu jauh dengan rasa rindunya terhadap Yaka. Segala yang ada pada Yaka adalah semesta yang diinginkan oleh Laida. Mereka bersama dalam waktu yang begitu lama. Hingga akhirnya, kerinduan Laida berbalik sebagai boomerang di hidupnya...