Chapter 1: Jumpa Kembali

147 22 24
                                    

AKU menyenderkan punggung dengan gugup, berusaha menenangkan diri dengan rasa lapar dan takut yang sudah menyelimuti sekujur tubuhku sejak tadi malam. Ini pertama kalinya aku menaiki pesawat, itu yang membuatku takut. Ditambah lagi ini adalah hari kelima sejak munculnya berita pesawat jatuh. Beritanya masih hangat, dan menjadi pembicaraan dimana-mana, dan... tentu semakin menambah rasa gugupku. Aku sangat takut, sungguh. Sensasinya tak enak, aku tak suka. Penumpang yang duduk di sebelahku sudah mencoba menenangkan, "tenang, pesawat memang sedikit berderit seperti ini". Aku membalas dengan senyum dan sedikit menganggukkan kepala.

Apakah terlihat begitu jelas bahwa anak kucing ini sedang dicengkeram ketakutannya?

Pengalaman pertama ini mengganggu tidurku. Kemarin aku tak tidur sama sekali, jadinya aku menghabiskan waktu dengan menulis di blog yang sengaja aku buat untuk membantuku menenangkan diri dan juga mereduksi pikiran berlebihan yang tak seharusnya. Agaknya sedikit membantuku lebih tenang walau tetap tak membuatku tidur atau bahkan mau mengisi perut.

Benar, karena ketakutan ini juga aku tak bisa makan sama sekali.

Aku memicingkan mata dan berusaha berdamai dengan derit pesawat ini. Walau sudah dibalut kaus kaki dan sneakers, aku yakin kakiku pasti tetap dingin seperti es sama halnya dengan kedua tanganku. Saat merasa lebih tenang, aku membuka mata dan melihat ke luar jendela sambil berusaha merogoh roti yang aku punya untuk mengisi perut. Ini roti kesukaanku, tapi sekarang sama sekali tak membuatku berselera. Aku memakan rotiku. Tak ada pemandangan yang bisa kulihat. Pesawat ini sedang menukik dan menembus berlapis-lapis awan tebal.

"Mbaknya mau ngapain ke Jogja?" Itu suara penumpang di sebelahku. Seorang wanita yang mungkin lebih tua lima tahun dariku.

"Eum, k-kuliah Mbak." Aku menjawab agak ragu, masih tolol seperti aku yang biasanya. Aku tak paham kenapa, tapi aku selalu tergagap jika bicara dengan orang asing. Oh, tentu itu akan meninggalkan impresi pertama yang buruk.

"Ho, sama berarti. Saya juga mau kuliah. Ini baru selesai penelitian dari daerah Sumatera tengah untuk disertasi saya." Aku perlahan menyimpan rotiku yang baru kugigit sekali. Merasa tak sopan mendengarkan seseorang berbicara sambil terus mengisi perut.

"Asli dari sana ya, Mbak?" Aku mengangguk mengiyakan walau bukan jawaban sebenarnya. "Saya Ratih, salam kenal ya Mbak..." ucapannya menggantung, menunggu aku melengkapinya.

"...Wigan," timpalku sambil sedikit menundukkan kepala dan senyum canggung. Aku menyambut tangannya yang mengajak bersalaman.

Setelah aku menyebutkan nama, ada seseorang dari bangku seberang yang tiba-tiba menoleh ke arahku. Tepatnya di seat 19B sedangkan aku berada di seat 21F. Aku menatap balik dan tak bisa mengenali karena terlalu samar. Apa dia mengenaliku? Atau suaraku terlalu keras lalu mengganggunya? Aku kira tidak. Aku tak punya tenaga untuk bicara lebih keras apalagi tekanan udara di sini membuat telingaku sedikit tersumbat, itu membuatku lebih berhati-hati dalam bicara.

Pesawat sudah tidak menukik lagi sejak beberapa waktu yang lalu, dan terhitung sekitar empat puluh delapan menit lagi aku akan sampai di tempat tujuan. Aku lanjut memakan roti punyaku. Agaknya aku sedikit lebih berselera daripada beberapa saat yang lalu. Oh, harusnya aku berterima kasih kepada Mbak Ratih. Aku rasa obrolan singkat tadi membuatku merasa lebih tenang.

Beberapa kali aku masih melihat ke seat 19B. Orang itu secara berkala melihat ke arahku, dan itu benar-benar memancing rasa penasaran. Aku tidak menantangnya dengan menatap balik. Aku hanya pura-pura tidak tahu saat kurasa dia melihatku dan baru melihat ke arahnya saat dia sudah mengalihkan pandangan. Hatiku bilang, aku tidak mengenalinya. Perawakannya tak pernah kulihat sebelumnya, ini pertama kali.

Untuk mengisi waktu, aku menulis. Menulis semua yang kualami hari ini, termasuk pengalaman tolol yang memalukan, di notes ponselku. Tentu laki-laki 19B, aku putuskan menyebutnya begitu, tak luput dari tulisanku. Ditengah-tengah kegiatan ini, laki-laki itu berdiri. Aku tertegun, kemudian pura-pura mengetik padahal tak ada yang aku tulis. Aku gugup dan tak bisa fokus karenanya. Kepalaku hanya merekam satu orang yang berkemungkinan ke Jogja, tapi... aku sangat tak yakin akan bertemu dengannya. Laki-laki itu berjalan melewatiku menuju ekor pesawat. Tentu selama itu dia melihatku, terang-terangan pula. Aku melihat ke arahnya sebentar, hanya sepersekian detik, kuusahakan betul memasang wajah tak minat.

Kupastikan, aku tak mengenalnya.

Sepertinya dia sudah selesai dengan urusannya di ekor pesawat karena kurasakan seseorang melihatku dari belakang. Cukup puas telah melihatnya sebelumnya, aku tak menantang dengan menatap balik. Aku hanya pura-pura tak tahu dan menyibukkan diri. Tapi entah kenapa, aku merasa laki-laki ini ada hubungannya dengan seseorang yang kumaksud sebelumnya. Rambut gondrongnya, khas seniman, mendukung asumsiku itu.

"Para penumpang yang terhormat, saat mendarat sudah dekat..."

Aku menutup mata lagi. Pesawat ini lagi-lagi berderit dan itu benar-benar menakutkan. Aku merasakan seseorang menepuk pelan lenganku dua kali saat aku tengah berperang dengan ketakutanku. Saat aku membuka mata, kulihat Mbak Ratih menyodorkan permen buah. Wanita ini benar-benar luar biasa, pikirku. Pasti kelak dia akan menjadi Ibu yang sangat baik. Aku mengucapkan terima kasih lalu menerimanya. Aku memakannya dan menjadi sedikit lebih tenang. Sebenarnya sudah aku rasakan sejak ia menyodorkan benda itu, benar-benar menghangatkan hati anak kucing ini.

Pesawat benar-benar berhenti sepenuhnya. Aku lega karena sampai di tujuan dengan selamat walau lututku sedikit lemas. Ternyata sensasi landing lebih mengerikan daripada take off. Aku mengambil barang di kabin pesawat dan sengaja sekali melihat ke arah seat 19B.

Jantungku berhenti sebentar.

Aku melihatnya!

Laki-laki yang sangat aku kenali perawakannya, berdiri di depan laki-laki 19B tadi. Dan lagi... ransel yang dia gunakan. Aku hafal betul ransel itu! Aku kenal pemiliknya! Aku tertawa di dalam hati. Laki-laki ini ternyata sangat setia dengan benda bergambar tengkorak itu. Ia tampaknya tak membawa banyak barang dan langsung berjalan meninggalkan pesawat tanpa harus menunggu antrean untuk mengambil barang di kabin sepertiku. Laki-laki 19B itu sekali lagi melihatku dan setelahnya melakukan semacam laporan pada orang di depannya.

Aku sedikit bergegas saat dia sudah benar-benar meninggalkan pesawat. Badannya sudah hilang sepenuhnya di balik pintu pesawat itu. Aku masih belum memastikan. Aku masih belum melihat wajahnya. Apakah benar dia orang yang ada di pikiranku kini? Bagaimana kalau tidak?

Aku berhasil keluar dan kini sedang menuruni tangga. Aku sudah mengedarkan pandanganku dan tidak menemukannya. Itu membuatku sedikit... kecewa. Walaupun kupastikan tak akan menghampirinya atau bahkan bicara padanya jika sudah tahu. Aku hanya perlu memastikan. Itu saja.

Aku berjalan pelan, tak perlu bergegas lagi karena kesempatan untukku sudah menguap. Aku berdiri dengan tenang menunggu koperku keluar dari bagasi. Lututku sudah tidak lemas, tapi perutku terasa mulas. Jantungku jangan dipertanyakan lagi, keadaan perutku sudah mewakili itu.

Rasanya aku ingin menangis. Aku tak punya akhir yang bagus dengannya. Aku hanya punya pertanyaan-pertanyaan menggantung yang tak kutahu harus mendapat jawaban dari mana selain dari dirinya.

Kira-kira sudah berapa tahun aku dihantui pertanyaan ini? Kukira sudah enam tahun. Itu bukan waktu yang sebentar.

Melihatnya hari ini benar-benar membuatku senang. Dia tak apa, itu sudah cukup. Seketika pertanyaan-pertanyaan itu tidak kubutuhkan lagi jawabannya. Apakah sebenarnya aku belum menemui akhir? Pertemuan hari ini mengarahkan pada pertanyaan itu. Aku menarik nafas kasar, kali ini bukan karena gugup.

Setelah sekelebat pikiran itu muncul, koperku berjalan melewatiku dan dengan segera aku mengambilnya. Koper ini berat sekali. Sembilan belas kilogram. Satu kilogram lagi mencapai limit, dan dua kilogram lagi aku harus membayar untuk satu kilogramnya karena melampaui limit yang ditentukan. Aku hanya menariknya karena tak mampu untuk menggendong. Sebelum koper ini menyentuh lantai dan akan menimbulkan suara dentuman yang cukup keras karena aku yang tolol ini hanya mampu menariknya, sepasang tangan membantuku,

"Apa kabar?" ucapnya.

"T-terima kasih." ucapku.

***

PortrayalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang