Chapter 2: Observasi

154 22 14
                                    

"OBSERVASI, aku hanya observasi..." ucapku lirih, nyaris seperti berbisik menjawab pertanyaan orang di sebelahku, yang baru aku ketahui tadi bahwa dia adalah kakak kelas. Tapi aku tak tahu namanya siapa, aku tak sempat bertanya.

Aku menundukkan kepala karena malu. Kakak ini ramah. Aku rasa kalau dia tak bertanya, mungkin aku akan lebih malu lagi. Tertangkap basah itu tak mengenakkan, dahiku pasti sudah mengerut, dan rupaku pasti jelek sekali.

Aku baru saja disemprot orang yang duduk di depanku. "Apa kau lihat-lihat?" begitu katanya. Ini adalah orang-orang yang baru kutemui, kurasa wajar untuk sekedar observasi dan memindai sejenak untuk mengenali satu persatu. Tampaknya tak semua orang dapat menerima, seperti laki-laki tadi, ia terlihat sangat risih dan terganggu.

Kami semua, berjumlah sekitar sebelas orang, sedang mengikuti semacam seminar tentang kaki gajah di Puskesmas kecamatan. Jaraknya tak jauh sama sekali, hanya sekitar tujuh belas meter dari gerbang utama SMP Negeri A, sekolahku.

Aku anak baru tiga bulan yang lalu. Cukup membuat heboh satu sekolah karena pada hari pertama aku tidak memakai seragam sekolah ini, masih memakai seragam sekolahku yang lama, karena distribusi pakaian di sini cukup buruk... kurasa. Aku diminta menunggu sekitar tiga minggu untuk mendapatkan seragam sekolah. Jadilah penderitaan itu berlanjut, bukan pada hari pertama saja. Aku menanggung malu selama tiga minggu itu, padahal ini tidak salah sama sekali. Mereka menghujaniku dengan tatapan heran secara terang-terangan, dan kemudian saling berbisik... itu agak mengganggu pada awalnya.

Pada bulan kedua, aku mengikuti ujian tengah semester. Agak berat sebenarnya karena ternyata ada perbedaan kurikulum. Tak banyak pelajaran yang sinkron dengan pelajaran yang aku dapat sebelumnya dan karena itu aku merasa harus memulai lagi dari nol.

Satu minggu kemudian adalah pengambilan rapor. Sistemnya agak beda. Kami mengambilnya secara mandiri, tidak diwakilkan oleh orang tua. Rapor tidak dalam bentuk buku, tetapi hanya selembar kertas yang untungnya diketik rapi. Aku tak akan habis pikir jika ini ditulis tangan, akan semelelahkan apa itu?

Hasilnya cukup mengejutkan. Aku meraih peringkat pertama, dan tentu, lagi-lagi membuat satu sekolah heboh. Bagaimana bisa seorang penjajah mengalahkan pribumi? Begitu kata mereka, meniru guru Bahasa Inggrisku yang sering sekali mengucapkan kalimat itu jika nilai ulanganku menjadi yang terbaik di kelas. Beliau pria baik, teman Ayah. Aku masuk ke sekolah ini dibantu oleh beliau dan aku tahu yang tadi itu hanya kalimat gurauan, jadi aku sama sekali tak ambil hati. Karena peringkat pertama ini, aku diminta untuk mengikuti hampir semua kegiatan sekolah sekalipun aku tak minat sedikitpun. Contohnya PMR ini. Aku tak memiliki minat di bidang kesehatan, aku lebih tertarik dengan seni. Tapi guru pembina PMR memintaku, nyaris seperti memohon, untuk bergabung. Aku jadi tak enak hati dan langsung menerima dengan berpura-pura antusias, mencoba menyenangkan hatinya.

Sekolah ini benar-benar kekurangan SDM. Guru Bahasa Inggris yang kumaksudkan tadi sebenarnya adalah staf Tata Usaha. Aku tak tahu bagaimana ceritanya sehingga beliau mengajarkan Bahasa Inggris. Ada juga yang lebih unik. Seorang guru dengan gelar S.Si mengajar pelajaran olehraga di kelasku. Itu membuatku bingung pada awalnya. Kata teman-teman, beliau pengajar IPA di kelas sembilan sekaligus pembina tim olimpiade biologi. Karena kekurangan SDM tadi, makanya beliau merangkap jadi guru olahraga.

Ada masalah lain selain persoalan kekurangan tenaga pengajar. Tak ada perawat di UKS. Kami mengobati diri secara mandiri, makanya UKS itu terlihat agak porak-poranda dan tak ada yang mau tidur di sana karena tak nyaman. Dan lagi... obat-obatannya tak lengkap. Aku pernah sekali ke sana membantu salah seorang teman, dan yang kutemui di lemari tempat penyimpanan obat hanyalah tiga botol rivanol dan sebotol... minyak butbut? Aku tak tahu itu apa, tapi mereka menyebutnya begitu. Akhirnya aku menyarankan temanku untuk pulang, yang ada dia hanya akan semakin sakit jika tetap di sini. Lagi-lagi, aku yang mengurus surat izinnya karena tak ada guru piket. Lebih tepatnya, tak ada yang bisa jadi guru piket. Semua guru sibuk mengajar di kelas. Ajaibnya, aku mengurus surat izin ini langsung ke kepala sekolah, mengikuti arahan dari guru-guru. Di sekolah yang lama, sangat sulit untuk menemui kepala sekolah karena beliau super sibuk.

Murid-murid di sini juga tak banyak dan yang ingin belajar sungguh-sungguh dapat dihitung dengan jari. Baru kali ini aku bertemu dengan siswa kelas sembilan yang berumur dua puluh satu tahun. Di kelas tujuh juga ada. Ada seorang gadis yang berumur tujuh belas tahun. Agak mengejutkan, tapi guru-guru bilang harus memastikan anak-anak itu untuk dapat menamatkan pendidikannya karena sebagian besar memang menjadi tumpuan keluarga. Aku menjadi tertegun, dan di dalam hati berkeinginan besar untuk belajar lebih baik lagi.

Oke, kembali lagi dengan seminar kaki gajah ini.

Aku tak lagi melanjutkan observasiku. Semprotan tadi cukup memperingatkanku untuk menghentikannya. Kulihat laki-laki yang menyemprotku tadi berbisik dengan teman di sebelahnya, hatiku merasa tak nyaman.

"Ayolah, itu sudah beberapa waktu yang lalu." bisikku pada diri sendiri. Aku lagi-lagi menundukkan wajah dan menutup wajahku dengan kedua tangan.

Tak lama, laki-laki itu menoleh ke belakang dan teman di sebelahnya juga melakukan itu. Aku merasakannya walaupun tak melihat. Entah dorongan apa, aku malah mengangkat wajah kemudian menatapnya balik.

Mata kami bertemu.

Lebih tepatnya, antara aku dengan orang yang duduk di sebelahnya, di sebelah laki-laki yang aku tidak suka itu. Kami saling diam.

Saat itu juga, wajah diamnya mengukir sebuah senyum kecil. Apa orang asing ini sedang menyapaku? Aku tak membalas, hanya melongo macam orang pandir. Laki-laki yang menyemprotku tadi langsung merangkul teman di sebelahnya, menghadap lagi ke depan, dan kembali berbisik.

Ah, aku benci bisikan itu.

Karena penasaran, aku menyikut  pelan orang yang ada di sebelahku. Aku baru tahu namanya Tasya. Barusan aku tak sengaja melihat bukunya di atas meja dan ada tulisan TASYA yang besar di sampulnya. "Kenapa?" tanggapnya.

Jari telunjukku bergerak kecil, menunjuk malu-malu ke depan, lalu bertanya, "Itu... namanya siapa, Kak?"

"Eum, yang kiri atau yang kanan?" Aku merasa tak akan selamat jika menunjuk lebih spesifik lagi karena wajah Tasya tiba-tiba menghambar, jadi aku menjawab dengan aman, "keduanya."

Dia mendekat dan menjawab sedikit berbisik, "...yang kiri namanya Rahmat, Randi Rahmat. Kalau yang kanan namanya Pipo, Wivo Restu Herkanda. Anak kelas sembilan."

Oo. Nama yang menarik.
Wivo Restu Herkanda. Bagus.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 03, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PortrayalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang