Aluna melihat Petra yang sudah duduk di atas tempat tidur anak gadisnya. Aluna merasa bersalah karena sudah membentak ayahnya di ruang makan tadi.
"Ayah maafkan aku, aku tidak bermaksud ingin membentakmu. Tadi aku hanya... sedikit emosi dengan jawaban ayah"
"Tidak masalah" Petra menarik napas panjang lalu membuangnya. Sambil mengelus puncak kepala putrinya, Petra kembali mengeluarkan suara.
"Aluna.. kau tau kenapa kau tidak mengingat masa kecil mu?"
Aluna yang sedang terpejam langsung membuka matanya. Lalu Aluna mengernyit heran mendengarkan pertanyaan ayahnya.
"Ayah bilang kan aku pernah kecelakaan waktu usiaku 8 tahun, jadi aku tidak terlalu memikirkan hal itu"
"Tidak Aluna. Kau bukan amnesia, tetapi ingatanmu sudah dihapuskan oleh ibumu sendiri"
Aluna terkejut setengah mati. Sekian lama ia tidak mendengar kata ibu, kini kata itu membuatnya sakit hati. Pasalnya, ia tidak mengingat apapun tentang ibunya. Jangankan mengingat wajahnya, mengingat nama ibunya saja ia tidak bisa.
"Apa ini ayah? Aku kira ibuku sudah meninggal sejak aku bayi"
Aluna tidak menyangka jika ibunya tega mencabut ingatannya. Segitu menyusahkannya kah aluna sampai ia harus membuang aluna?."Kurasa aku sudah harus menceritakan ini kepadamu lun, mengingat usia mu sudah menginjak 18 tahun"
Aluna mengambil posisi duduk menghadap Petra. Pembicaraan mereka kali ini cukup serius.
"Ayah tolong ceritakan dengan jelas!" Tanya aluna sedikit menuntut. Kali ini, Aluna benar benar kecewa dengan perlakuan ayahnya. Bagaimana tidak ini menyangkut mental hidup Aluna dan masa depannya. Dengan entengnya Petra menyembunyikan semuanya selama 18 tahun ini.
"Apa kau percaya dunia immortal?" Ucapan Petra membuyarkan lamunan kekesalan Aluna.
Aluna menggeleng pelan menandakan ia tidak percaya. Dengan alis mengangkat satu, itu sudah mengode ayahnya untuk melanjutkan ceritanya.
"Dunia immortal itu benar adanya. Hanya saja letaknya yang berbeda dimensi dengan Dunia manusia". Aluna terdiam memperhatikan ucapan ayah yang semakin 'nyeleneh'.
"Sebenarnya.. aku ini pemburu bayangan Luna. Ibumu itu, seorang penyihir putih. Penyihir putih dikenal sebagai penyihir dengan kekuatan yang super. Mereka sangat baik dan sering membantu makhluk immortal lainnya yang sedang terluka. Kebetulan, waktu itu ayah sedang berburu monster yang menjelma menjadi sebuah bayangan hitam dan ayah mendapat luka lengan akibat pertarungan kecil itu" ucap Petra sambil menunjukkan bekas luka di lengannya.
Selama ini Aluna mengira luka itu didapatkan dari insiden gerbang sekolah. Antara percaya atau tidak percaya, Aluna tetap mendengar kan semua ucapan Petra.
"Saat ayah mencoba membersihkan luka ini didekat sungai, Helena datang"
Aluna memotong ucapan petra dengan bertanya siapa itu Helena.
"Helena itu nama asli ibumu lun. Waktu itu, Helena melihatku dengan iba. Dia menampung air di sungai itu dengan tangannya, lalu membacakan mantra mantra yang ayah tidak ketahui. Ia mencipratkan air tadi di lukaku dan lukaku langsung kering. Ibumu memang hebat."
Aluna melihat raut kagum di wajah Petra. Entah sehebat apa 'ibu' Aluna yang sebenarnya.
Petra melanjutkan ceritanya." Sewaktu itu, Ia memakai jubah putih yang dihiasi dengan permata yang sangat indah, rambut panjang putihnya ia jalin kesamping. Helena juga memakai ikat kepala yang terbuat dari perak dan butiran mutiara. Ayah rasa ayah sudah jatuh cinta dengan ibumu sejak pertama kali bertemu dengannya."

KAMU SEDANG MEMBACA
the Last White Witch
FantasyNaluna de Bethe seorang gadis yang mengalami masa pertumbuhan tidak seperti gadis lainnya. Satu persatu memorinya tersusun bagaikan sebuah puzzle. Setiap potongan puzzle itu dapat mempengaruhi kehidupan Aluna. Akankah Aluna membenci ibunya sendiri...